Ikhbar.com: Ketua Steering Committee (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Asrorun Niam Sholeh, menyampaikan bahwa hasil Ijtima Ulama VIII menetapkan larangan terhadap penggunaan salam lintas agama.
Prof Niam menjelaskan bahwa penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk dalam pengucapan salam dengan menyertakan salam dari berbagai agama, bukanlah bentuk toleransi yang sah. Karena, menurutnya, dalam Islam, mengucapkan salam adalah doa yang bersifat ubudiyah.
Baca: Bolehkah Mengucap dan Menjawab Salam kepada Nonmuslim?
“Karenanya, harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” tegas Prof Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII, dikutip dari laman MUI, pada Rabu, 5 Juni 224.
Prof Niam menegaskan bahwa pengucapan salam yang mengandung doa khusus dari agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Menurutnya, pengucapan salam dengan menyertakan salam dari berbagai agama bukanlah implementasi dari toleransi atau moderasi beragama yang benar.
“Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam diperbolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi,” tambahnya.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menjelaskan bahwa dalam prinsip hubungan antar umat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.
Baca: Al Washliyah: Setop Polemik Salam Lintas Agama
Hal ini harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an “lakum dinukum wa liyadin” yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku, tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
“Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara harmonis, rukun, dan damai,” kata Prof Niam yang juga Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat.
Namun demikian, Prof Niam menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela, atau merendahkan agama lain (al-istihza’).
“Antar umat beragama tidak boleh mencampuri atau mencampuradukkan ajaran agama lain,” tegasnya lagi.
Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini digelar pada 28-31 Mei 2024 dengan mengangkat tema “Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat.”
Acara ini diikuti oleh 654 peserta dari berbagai unsur, seperti pimpinan lembaga fatwa Ormas Islam Tingkat Pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas Syariah perguruan tinggi keislaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan Muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Sebelum pembukaan, sejumlah tokoh hadir untuk memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan Ijtima, antara lain Ketua BAZNAS Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama RI Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 KH Jusuf Kalla, serta Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid.