Ikhbar.com: Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), bukan sekadar gugusan pulau di atas peta. Di wilayah yang memiliki lebih dari 650 pulau berpenghuni dan tak berpenghuni itu, akses layanan publik kerap terkendala jarak, biaya transportasi, hingga cuaca laut yang sulit diprediksi.
Namun, bagi H. Abdurrohman Ismail, Kepala Seksi (Kasi) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Lingga, semua hambatan itu tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan kebutuhan masyarakat.
“Inovasi ini kami sebut Lantera (Layanan Terapung Keagamaan). Motonya, menjelajah, menyapa, melayani ke ujung pulau,” ujarnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Layanan Sepenuh Jiwa Kemenag Lingga,” di Ikhbar TV, dikutip pada Ahad, 7 September 2025.
Baca: ‘Islam Bahari’ sebagai Solusi Kebangkitan Ekonomi
Melalui Lantera, seluruh layanan Kemenag diangkut ke perahu, mulai dari pendaftaran haji, pencatatan nikah, ikrar wakaf, hingga konsultasi keluarga sakinah. Laptop, printer, genset, hingga tim petugas ikut dibawa. Di atas kapal kayu kecil, layanan negara hadir tepat di depan masyarakat yang biasanya harus mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk menyeberang ke Kantor Urusan Agama (KUA) terdekat.

Klik: Untuk membaca aneka informasi tentang “Kemenag” di sini.
Dari bedak luntur hingga pernikahan terapung
Kang Abdurrohman, sapaan akrabnya, menuturkan kondisi geografis Lingga sering melahirkan cerita unik sekaligus getir. Di Kecamatan Senayang, misalnya, pasangan pengantin yang sudah dirias tetap harus menempuh perjalanan laut panjang.
“Pengantin itu, kalau berbedak, kena ombak, langsung luntur semua,” katanya berseloroh.
Kini, lewat Lantera, pernikahan bisa berlangsung di atas kapal. Ia bahkan pernah menyaksikan akad nikah digelar di tengah laut dengan suasana sederhana tetapi penuh makna.
“Semua layanan Kemenag itu kita sediakan di Lantera,” ujar sosok yang sebelumnya menjabat Plt. Kepala Kantor Kemenag Lingga tersebut.
Selain pernikahan, Lantera juga melayani masyarakat Suku Laut yang sebelumnya banyak hidup tanpa buku nikah resmi.
“Mereka terkadang sudah lama hidup bersama, tapi tidak punya buku nikah. Dampaknya bisa berbahaya bagi kehidupan berikutnya,” jelasnya.
Baca: Laut Tak Selamanya Biru, Dulu Hijau dan Kelak Ungu, Kata Studi Terbaru
Swadaya, gelombang, dan keterbatasan
Meski terdengar megah, program Lantera masih berjalan dengan segala keterbatasan. Armada yang digunakan hanya satu kapal sewaan berkapasitas sekitar sepuluh orang.
“Biaya sewanya dianggarkan sekitar Rp25 juta per tahun, sudah termasuk sopir kapal atau tekong,” ungkapnya.
Tidak jarang, operasional tambahan ditopang swadaya.
“Kalau mau turun ke daerah khusus, kawan-kawan Kemenag sering mendermakan beras atau mi instan untuk dibagikan ke masyarakat Suku Laut. Mereka antusias,” kata dia.
Kendala besar lainnya adalah cuaca. Ada musim gelombang utara dan selatan yang bisa membahayakan perjalanan.
“Kalau sekarang kapalnya masih kecil, kalau nanti sudah sebesar kapal nelayan, insyaallah lebih aman,” harapnya.
Baca: Tafsir QS. An-Nahl Ayat 14: Mensyukuri Kekayaan Laut
Apresiasi dan harapan
Gagasan layanan terapung ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag RI hingga Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Kepri juga menilai Lantera sebagai inovasi yang layak dicontoh daerah lain. Bahkan,ada rencana pembuatan film dokumenter untuk mendokumentasikan aktivitas ini.
Bagi Kang Abdurrohman, inovasi ini bukan sekadar strategi pelayanan, melainkan bentuk nyata pengabdian.
“Saya pikir itu layanan inovasi yang baik. Dan itulah salah satunya cara kita menjadikan warga Kemenag sebagai khairunnas anfauhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama),” ujarnya.
Ia berharap siapa pun yang kelak memimpin Kemenag Lingga bisa melanjutkan Lantera.
“Layanan ini harus berjalan sepanjang masa, siapa pun nanti pimpinannya,” tandasnya.