Kecam Proyek ‘Kota Kemanusiaan’ Netanyahu di Gaza, Eks PM Israel: Kamp Konsentrasi Gaya Baru

Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert mengatakan Israel telah melakukan kejahatan perang di Gaza dan Tepi Barat, dan pembangunan kamp tersebut akan menandai sebuah eskalasi. Foto: Ther Guardian/Quique Kierszenbaum

Ikhbar.com: Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, menilai rencana pembangunan “kota kemanusiaan” di atas reruntuhan Rafah merupakan bentuk kamp konsentrasi dan dapat dikategorikan sebagai pembersihan etnis.

Proyek yang didukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu itu digagas Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz. Kota tersebut dirancang untuk menampung 600.000 orang, dan pada akhirnya seluruh populasi Palestina di Gaza. Warga hanya diizinkan keluar untuk dipindahkan ke negara lain.

Olmert mengatakan, pemindahan paksa itu akan menjadi eskalasi dari kejahatan perang yang sudah dilakukan Israel di Gaza dan Tepi Barat.

“Jika mereka dideportasi ke ‘kota kemanusiaan’, maka itu bagian dari pembersihan etnis,” ujar Olmert, dikutip dari The Guardian, pada Senin, 14 Juli 2025.

Ia menyangsikan niat pemerintah melindungi warga sipil, mengingat retorika kekerasan yang berbulan-bulan dilontarkan para menteri, termasuk seruan untuk “membersihkan” Gaza serta pembangunan permukiman baru di wilayah Palestina.

“Jika tujuan sebenarnya adalah menyelamatkan warga, mereka tak akan dipaksa masuk ke kamp yang tertutup. Ini upaya untuk mendorong dan membuang mereka,” tegasnya.

Baca: Sejarawan Israel: Zionisme di Ambang Keruntuhan

Pernyataan Olmert sejalan dengan kritik sejumlah akademisi dan pengacara HAM di Israel, yang menilai proyek itu sebagai cetak biru kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan bisa dikategorikan sebagai genosida.

Sebagian tokoh yang membandingkan proyek tersebut dengan kamp Nazi justru mendapat kecaman dari lembaga resmi seperti Yad Vashem, yang menilai perbandingan itu menyimpang dari makna Holocaust.

Olmert juga menyoroti meningkatnya kekerasan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Ia menyebut pelaku yang dikenal sebagai “hilltop youth” lebih layak disebut sebagai pelaku kekejaman. Menurutnya, aksi mereka didukung secara diam-diam oleh otoritas Israel.

“Tidak mungkin mereka bisa bertindak begitu luas dan sistematis tanpa perlindungan dari negara,” ucapnya.

Ia juga mengkritik para menteri ekstremis di kabinet Netanyahu yang mendukung kekerasan dan ekspansi wilayah.

“Mereka adalah musuh dari dalam yang lebih berbahaya dari musuh eksternal,” katanya.

Olmert mengakui bahwa kemarahan internasional terhadap Israel tidak seluruhnya bermotif antisemitisme.

“Banyak yang marah karena menyaksikan apa yang terjadi di televisi dan media sosial. Ini reaksi manusiawi ketika Israel dinilai telah melewati batas,” ungkapnya.

Baca: Banyak Keluarga Yahudi Ribut Anggotanya Dukung Palestina

Ia menekankan pentingnya tekanan internasional terhadap Israel, mengingat minimnya oposisi politik di dalam negeri dan pemberitaan media domestik yang menutupi kekerasan terhadap warga Palestina.

Meski mendukung kampanye militer setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Olmert menilai pemerintah Israel telah berubah arah. Ia merasa “malu dan hancur hati” melihat perang defensif berubah menjadi kejahatan perang.

Ia menuduh pemerintah saat ini membiarkan militer melakukan serangan yang membunuh banyak warga sipil tanpa perintah langsung.

Namun, Olmert tetap berharap pada solusi dua negara dan bekerja sama dengan mantan Menlu Palestina, Nasser al-Kidwa, untuk mewujudkannya. Ia juga melihat peluang perdamaian melalui normalisasi dengan Arab Saudi, jika Netanyahu bersedia bertindak.

Ironisnya, Olmert mengaku terkejut melihat Netanyahu, yang kini berstatus buronan Pengadilan Kriminal Internasional, mencalonkan Donald Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.