Jurnalis Palestina Melahirkan di Tengah Perang, Operasi Caesar cuma Pakai Senter HP

Ilustrasi. Foto: AFP

Ikhbar.com: Perang yang belum berkesudahan antara Israel dan Palestina di Gaza meninggalkan kisah yang cukup memilukan bagi warga setempat. Pahitnya konflik tersebut juga dirasakan salah satu jurnalis perempuan Palestina TV, Al-Zaanoun.

Perempuan berusia 34 tahun itu terpaksa harus tetap bertugas meskipun baru saja melahirkan bayi perempuan di Kota Gaza. Hal itu ia lakukan beberapa minggu setelah dimulainya serangan Israel Oktober 2023 yang lalu.

“Saat itu saya punya tekad yang kuat untuk meliput perang di Gaza. Saya harus bertugas meskipun baru dua bulan melahirkan,” ujar Al-Zaanoun dikutip dari Reuters pada Selasa, 8 Oktober 2024.

Ia menceritakan, saat melahirkan menggunakan operasi sesar, beberapa serangan udara Israel menghantam Kota Gaza. Dokternya melakukan operasi dalam kegelapan, dengan hanya menggunakan lampu ponsel sebagai satu-satunya alat penerangan.

Baca: Israel Juara 1 Negara Paling Banyak Membunuh Pekerja Kemanusiaan

“Esok hari pasca melahirkan, saya pulang ke rumah. Tetapi keesokan harinya saya terpaksa melarikan diri dari pertempuran, berkendara lebih jauh ke selatan bersama ketiga anak saya,” katanya.

Sembilan hari setelah melahirkan, ia terpaksa meninggalkan mobilnya dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

“Saya harus berjalan sejauh delapan km untuk sampai ke selatan bersama anak-anak saya. Ada mayat di mana-mana, pemandangan yang mengerikan. Saya merasa jantung saya akan berhenti berdetak karena ketakutan,” ucap dia.

Hanya 60 hari kemudian, dia kembali ke depan kamera untuk melaporkan perkembangan perang di Gaza. Dalam menjalankan tugasnya itu, ia bergabung bersama jurnalis Palestina lainnya.

“Tidak ada media internasional saat itu. Sebab Israel tidak memberikan izin media internasional untuk meliput,” katanya.

Ia menyebut bahwa jurnalis yang bertugas saat itu taruhannya nyawa. Sehingga para pekerja media tersebut tidak bisa terlalu dalam dalam meliput.

Bagi jurnalis seperti Al-Zaanoun, tantangannya tidak terbatas pada upaya menjaga keselamatan saat meliput berita. Seperti 2,3 juta orang lainnya di Jalur Gaza, ia bersama jurnalis lainnya telah mengalami masa kelam selama perang. 

“Saya juga merasakan kepedihan seperti warga sipil lainnya yang menjadi korban, seperti mengungsi berkali-kali, kelaparan, kekurangan air, tempat tinggal, serta berduka atas kematian tetangga dan kerabat, makanan langka, popok mahal, dan obat-obatan langka,” kata Al-Zaanoun.

Selain keinginan profesionalnya untuk terus meliput berita, ia perlu menyediakan makanan di atas meja karena suaminya tidak dapat bekerja sejak perang dimulai.

“Jika saya tidak bekerja, anak-anak saya akan kelaparan,” katanya.

Seperti warga Gaza lainnya, ia juga khawatir akan keselamatannya dan tidak berani menentang perintah evakuasi Israel.

“Kami benar-benar tidak memiliki perlindungan. Jika kami memutuskan untuk tetap tinggal di wilayah utara, itu pasti akan membuat kami membayar harga yang sangat mahal dan itulah yang terjadi pada teman-teman kami,” tandasnya.

Periode mematikan bagi wartawan

Berdasarkan data dari Komite Perlindungan Jurnalis (JPJ) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) menyebutkan, hingga 4 Oktober 2024 setidaknya ada 127 jurnalis dan pekerja media yang telah terbunuh sejak konflik Israel-Palestina dimulai.

Angka tersebut menjadikan tahun lalu sebagai periode paling mematikan yang pernah tercatat bagi jurnalis sejak pengawas pers mulai menyimpan catatan pada tahun 1992.

Sementara Kelompok advokasi kebebasan pers, Reporters Without Borders mencatat lebih dari 130 jurnalis Palestina terbunuh di Gaza pada tahun lalu, termasuk setidaknya 32 pekerja media yang menjadi sasaran Israel.

Hingga saat ini, CPJ telah menetapkan bahwa sedikitnya ada lima wartawan yang secara langsung menjadi sasaran pasukan Israel.

Mereka termasuk wartawan Reuters, Issam Abdallah (37), yang dibunuh oleh awak tank Israel di Lebanon selatan Oktober 2023 lalu.

“CPJ masih menelusuri kemungkinan 10 kasus pembunuhan jurnalis lainnya yang menunjukkan kemungkinan penargetan,” tulis Reuters.

Meski demikian, bicara internasional Pasukan Pertahanan Israel membantah bahwa pihaknya sengaja menargetkan para jurnalis.

“Kami tidak menargetkan wartawan,” katanya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.