Jadikan Momentum Puasa Ramadan untuk Setop Konsumsi Gula Berlebih

Ilustrasi gula. Foto: Pixabay

Ikhbar.com: Puasa Ramadan menjadi momentum umat Muslim untuk mengurangi pola konsumsi gula berlebih. Pasalnya, mereka harus menahan asupan makanan dari pagi hingga maghrib.

Sehingga, diharapkan momentum puasa di bulan Ramadan ini bisa menjadikan seseorang untuk terhindar dari risiko penyakit diabetes dan kesehatan mata.

Menanggapi hal itu, Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K) menjelaskan, pengidap diabetes melitus sangat susah ditangani ketika mengalami glaukoma.

Hal itu disampaikan dr. Widya dalam acara diskusi soal kesehatan mata bersama Rumah Sakit Spesialis Mata Jakarta Eye Center (JEC) di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat pada Kamis, 22 Maret 2024.

“Penderita diabetes itu yang paling susah ditangani oleh kami (dokter spesialis mata subspesialis glaukoma). Karena harus menangani diabetesnya, harus melaser retinanya, harus disuntik untuk menghilangkan pendarahannya, diteteskan obat, dan operasi pasang selang,” katanya.

Saat berbuka puasa, Widya menyarankan umat Muslim untuk meminum air putih lebih banyak.  Hal itu dilakukan sebagai upaya mengurangi keinginan mengonsumsi minuman dan makanan yang manis-manis.

“Langkah tersebut merupakan cara disiplin tubuh mencegah glaukoma akibat penyakit diabetes,” ujar dia.

Baca: Tips Menjaga Kesehatan Mental selama Puasa Ramadan

Ia menjelaskan, jenis glaukoma neovaskular, umumnya diakibatkan diabetes melitus yang tidak terkontrol.

Di negara berkembang, kata dr. Widya, 90% kasus glaukoma tidak terdeteksi. Hal itu diperparah dengan fakta bahwa sekitar satu milyar orang di dunia belum memiliki akses terhadap kesehatan mata.

Dalam rangka memperingati Pekan Glaukoma Sedunia pada tanggal 10-16 Maret 2024, JEC Group menyelenggarakan berbagai sosialisasi dengan tema “Gerakan Sadar Glaukoma: Guna Menyelamatkan Kualitas Hidup Kita.”

Kegiatan itu ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terkait penyakit glaukoma yang tidak dapat direhabilitasi dan paya pencegahan kebutaan akibat glaukoma, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya deteksi glaukoma sedini mungkin.

dr. Widya menyebutkan, penyakit tersebut nyaris tanpa gejala. Salah satu penyebabnya adalah cairan yang terperangkap di rongga bola mata yang menekan hingga bagian belakang saraf optik, dan menimbulkan penurunan fungsi penglihatan.

Kondisi ini dapat dialami oleh usia berapa pun, namun seiring peningkatan faktor risiko, kondisi ini banyak dialami oleh kalangan usia di atas 40 tahun. Umumnya, tekanan darah di bola mata pasien saat diperiksa cukup tinggi, di atas 21 mmHg.

Diagnosa glaukoma menggunakan alat tomografi koherensi optik (OCT) yaitu teknologi pencitraan yang menggunakan interferometri koherensi rendah untuk mendapatkan gambar penampang lapangan pandang. Ketersediaan alat tersebut sudah dilengkapi JEC.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.