Buku ‘Kami Bukan Angka’ Rekam Kisah Pilu Gaza

Editor Ahmed Alnaouq (jaket biru, tengah) bersama penulis antologi lainnya. Foto: Middle East Eye

Ikhbar.com: Buku We Are Not Numbers: The Voices of Gaza’s Youth (Kami Bukan Angka: Suara Anak Muda Gaza) menyuarakan pengalaman mendalam 59 pemuda Gaza yang terlupakan dalam liputan media arus utama.

Lewat esai, puisi, dan kisah nyata, mereka menghadirkan sisi kemanusiaan dari konflik yang telah menewaskan lebih dari 52.000 warga Palestina.

Antologi ini lahir dari sebuah platform daring, dan kini menjadi simbol perlawanan melalui kata. Penulis muda seperti Anas Jnena menulis.

Baca: Korban Tewas di Gaza sudah Melampaui 52 Ribu Jiwa

“Saya ingin dunia tahu bahwa Palestina memiliki penulis, seniman, pemikir, dan yang terpenting pecinta. Kami manusia, sama seperti kalian,” ujar salah seorang penulis, Anas Jnena, dikutip dari Middle East Eye, pada Selasa, 6 Mei 2025.

Salah satu penulis yang lain, Allam Zedan, tumbuh di tengah tiga perang. Ia mencatat betapa sulitnya hidup muda di Gaza, dengan tingkat pengangguran sebelum perang terakhir mencapai 60 persen.

“Nasib pemuda seperti saya adalah mati atau terkatung-katung,” tulisnya.

Harapan tetap berpendar meski listrik kerap padam. Setelah perang 2014, Nada Hammad memimpin kampanye “The Colours of Hope,” melukis tembok-tembok pelabuhan al-Mina dengan warna-warna cerah, menandingi abu-abu reruntuhan.

Khaled Alostath yang mencintai buku, merindukan aroma halaman novel, bukan membaca dari PDF di ponsel.

Sementara Akram Abunahla dengan humor menggambarkan rintangan belanja daring akibat blokade yang rumit.

Baca: 360 Tenaga Kesehatan di Gaza Ditangkap Israel

Remaja 15 tahun yang pindah dari Uni Emirat Arab (UEA) ke Gaza, Iman Inshasi, awalnya muak pada panas dan kekurangan air. Namun, perlahan ia belajar menghormati semangat warga Gaza yang bertahan dengan segala keterbatasan.

Penyair Mosab Abu Toha mengenang sahabatnya, Ezzat, yang tewas akibat serangan udara pada 2014. Kenangan mereka abadi dalam puisi dan selembar jersey Messi.

Basima Almaza menulis bahwa tragedi 7 Oktober 2023 bukan datang tiba-tiba, melainkan buah dari 16 tahun pengepungan brutal atas dua juta jiwa yang terjebak di wilayah sempit seluas 365 km².

Ia juga menyebut nama-nama keluarga yang lenyap dalam serangan udara: keluarga Sabat, Abu Daqqa, al-Daws, Sha’ban, dan Abu Rakab.

Kengerian perang terkini tergambar dalam tragedi “pembantaian tepung” 29 Februari 2024, saat truk bantuan diserang dan kerumunan warga yang kelaparan ditembaki.

Yusuf El-Mhayed, yang disiksa dan ditembak meski telah dibebaskan, kini menjadi tulang punggung keluarga setelah mengungsi 14 kali.

El-Mhayed menyatakan, karya ini bukan sekadar buku, melainkan perlawanan dalam bentuk kata.

Baca: Israel Berangus Situs Bersejarah di Gaza, Ini Daftarnya!

“Saya masih berjuang untuk bertahan dari genosida ini, dan kini mendokumentasikannya untuk saya, rakyat saya, dan untuk kalian, dengan harapan cerita ini membantu mengakhirinya,” ungkapnya.

Empat penulis dalam antologi ini, yakni: Yousef Dawas, Mahmoud Alnaouq, Huda Alsoso, dan Mohammed Hamo telah gugur.

Buku ini didedikasikan untuk mereka dan mentor mereka, Refaat Alareer, yang tewas dalam serangan pada 6 Desember 2023.

Buku ini dieditori oleh Ahmed Alnaouq dan Pam Bailey, diterbitkan Hutchinson Heinemann pada 2025.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.