Iman adalah Kecerdasan Tertinggi di Era AI

Kecerdasan buatan merupakan puncak pencapaian logika, sekaligus bukti keterbatasan logika itu sendiri.
Ilustrasi perbandingan akal manusia dan AI. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com:AI bisa menulis esai dalam lima detik, lalu apa gunanya kita belajar menulis?”

Begitu kalimat pembuka yang dilontarkan CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, di hadapan pelajar SMAN 1 Lemahabang, Kabupaten Cirebon, dalam kegiatan “Workshop Jurnalistik Cerdas: Menulis Berita di Era AI”, yang digelar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa, pada Selasa, 28 Oktober 2025.

Menurutnya, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah melampaui manusia dalam banyak hal. ChatGPT, misalnya, mampu menulis ribuan kata dalam hitungan detik. Sistem medis berbasis algoritma dapat mendiagnosis penyakit lebih cepat daripada dokter. MidJourney mampu melukis dengan gaya Picasso tanpa pernah mengenal kuas.

“Namun, di balik kemajuan itu muncul pertanyaan mendasar, ‘Apakah manusia masih layak disebut makhluk paling cerdas jika seluruh fungsinya kini dapat digantikan mesin?” ujarnya.

Pertanyaan tersebut mengantarkan pada refleksi yang lebih dalam. Menurut Kiai Sobih, sapaan akrabnya, selama ini manusia mungkin salah memahami makna “cerdas.”

“Kecerdasan adalah kesadaran untuk memberi arah bagi pengetahuan, bukan hanya tentang kecepatan berpikir atau kemampuan mengingat,” ungkapnya.

CEO Ikhbar Group, KH Sobih Adnan, di hadapan pelajar SMAN 1 Lemahabang, Kabupaten Cirebon, dalam kegiatan “Workshop Jurnalistik Cerdas: Menulis Berita di Era AI”, yang digelar dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa, pada Selasa, 28 Oktober 2025. Dok IKHBAR

Baca: SMAN 1 Lemahabang Cirebon Gandeng Ikhbar Gelar Pelatihan AI

Akal tanpa hikmah, ilmu tanpa jiwa

Dalam Islam, pengetahuan tidak pernah dipisahkan dari nilai. Akal memang menjadi alat untuk memahami dunia, tetapi nilai spiritual yang menuntun arah penggunaannya.

“Tanpa iman, ilmu hanyalah data. Tanpa hikmah, kecerdasan hanyalah kebanggaan kosong,” kata Kiai Sobih.

Menurutnya, Al-Qur’an menegaskan hubungan itu dengan tegas:

يُؤۡتِي ٱلۡحِكۡمَةَ مَن يَشَآءُۚ وَمَن يُؤۡتَ ٱلۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ أُوتِيَ خَيۡرٗا كَثِيرٗاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki; dan barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan hanya orang-orang berakal yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 269)

Ayat tersebut menempatkan hikmah sebagai bentuk tertinggi dari kecerdasan, bukan sekadar kumpulan pengetahuan, melainkan kebijaksanaan yang lahir dari iman. Hikmah menuntun akal agar tidak terjebak pada kesombongan pengetahuan. Ia memastikan ilmu berbuah kebajikan, bukan hanya prestasi.

Kiai Sobih menjelaskan bahwa peradaban digital justru menguji dimensi tersebut.

“Kita hidup di masa ketika manusia memuja data, tapi melupakan arah, memproduksi informasi tanpa kebijaksanaan, dan menilai kecerdasan dari kecepatan, bukan kedalaman,” katanya.

“AI bisa memberi jawaban,” ujarnya, “tapi tidak bisa memberi makna atas jawaban itu.”

Menurutnya, kecerdasan buatan merupakan puncak pencapaian logika, sekaligus bukti keterbatasan logika itu sendiri. Sebab, betapa pun hebatnya teknologi yang diciptakan manusia, tetap dibutuhkan sesuatu yang tidak bisa diunduh, yakni kesadaran moral dan iman yang menuntun arah penggunaannya.

Baca: 5 Jenis Respons Manusia terhadap AI, Mana yang Lebih Baik?

Kecerdasan yang tak bisa diprogram

Kiai Sobih menyebut bahwa di era AI, ukuran kecerdasan pun perlu didefinisikan ulang.

“Dulu, cerdas berarti cepat berhitung. Sekarang, cerdas berarti mampu berpikir jernih, memaknai hidup, dan menahan diri,” ujarnya.

Kecerdasan sejati bukan terletak pada daya tangkap, melainkan pada daya tanggung jawab. Ukurannya bukan seberapa banyak seseorang tahu, tetapi bagaimana ia memperlakukan pengetahuan itu.

Di tengah sistem otomatisasi dan algoritma yang meniru cara berpikir manusia, perbedaan itu menjadi semakin penting. AI mampu melakukan kalkulasi, tetapi tidak bisa menimbang nilai. AI dapat memahami sebab, tetapi tidak memahami akibat moral dari tindakannya.

“Manusia, sebaliknya, memiliki kesadaran diri berupa kemampuan untuk memilih, menyesal, memaafkan, dan berempati. Semua itu muncul dari iman dan spiritualitas, bukan dari logika semata,” katanya.

Baca: Mengapa AI Terlihat Sangat Cerdas? Ternyata Ini Rahasianya

Puncak kecerdasan manusia

Menurut Kiai Sobih, iman bukan lawan akal. Iman justru bentuk tertinggi dari akal yang telah menemukan arah. Iman membuat manusia sadar bahwa tidak semua yang bisa dilakukan patut dilakukan.

“Iman menuntun agar pengetahuan tidak berubah menjadi keserakahan, dan teknologi tidak menjelma menjadi kekuasaan tanpa batas,” ujarnya.

Ia kemudian mengutip hadis Rasulullah Muhammad Saw:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai menjatuhkan lawannya, melainkan orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari)

Menurutnya, hadis tersebut berbicara tentang kekuatan mental dan kendali diri, dua hal yang menjadi inti kecerdasan spiritual. Orang cerdas bukan yang paling cepat berpikir, melainkan yang paling mampu menahan diri dari tindakan tanpa nilai.

Iman mengajarkan manusia untuk berpikir dengan hati, bukan hanya dengan otak. Iman menumbuhkan kesadaran bahwa kecerdasan tanpa kasih sayang hanyalah kehampaan intelektual. Dalam konteks AI, iman menjadi benteng agar manusia tidak menyerahkan moralitasnya kepada algoritma.

“AI bisa lebih pintar, tapi hanya manusia yang bisa bertanggung jawab,” ujarnya.

Baca: CEO Ikhbar.com: Skeptis Penting untuk Jaga Kewarasan di Era Banjir Informasi

Manusia, mesin, dan masa depan akal budi

Meski demikian, Kiai Sobih mengingatkan bahwa zaman baru tidak perlu ditakuti, melainkan dipahami. Teknologi bukan ancaman selama manusia masih memegang kendali nilai.

“AI hanyalah alat, sementara manusia adalah penentu arahnya,” katanya.

Di sinilah iman berfungsi sebagai pusat kendali kecerdasan. Ia mengingatkan bahwa kemajuan tanpa nurani hanyalah percepatan menuju kehancuran. Sebaliknya, teknologi yang dibimbing iman dapat menjadi sarana kemaslahatan bagi umat manusia.

Menurutnya, kecerdasan buatan telah menyalip manusia dalam banyak hal, tetapi tidak akan pernah menyalip dalam satu hal: kesadaran akan makna hidup. Kesadaran itu tidak bisa direkayasa karena tumbuh dari iman, dari keyakinan bahwa ada kebenaran di luar logika dan ada hikmah di balik keterbatasan.

“AI bisa berpikir, tapi tak mampu menjangkau getaran-getaran iman,” pungkasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.