Mafia Pangan Ancam Kedaulatan Pangan Presiden Prabowo

Tujuan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah memastikan petani, nelayan, dan produsen pangan domestik lainnya berdaya dan hidup sejahtera, mampu memenuhi kebutuhan nasional secara berkelanjutan, didukung teknologi modern (state of the art).
Ilustrasi petani. Foto: Shutterstock/Fenlioq

Oleh: Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, M.S (Anggota DPR RI Fraksi PDI-Perjuangan sekaligus Guru Besar Kehormatan (Emeritus Professor) di bidang Pembangunan Berkelanjutan pada Shinhan University, Korea Selatan, dan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan)

Mewujudkan bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada tahun 2045 adalah perjalanan yang penuh tantangan, memerlukan visi bersama yang kokoh dan konsisten. Presiden Prabowo beserta Kabinetnya telah merumuskan delapan misi utama (Asta Cita) dan 17 program prioritas pembangunan dalam lima tahun ke depan sebagai tonggak penting menuju Indonesia Emas 2045.

Seluruh rakyat Indonesia sangat mengapresiasi dan mendukung Presiden Prabowo yang menempatkan kedaulatan pangan (swasembada pangan), bersama dengan ketahanan energi dan air, sebagai misi kedua Asta Cita. Alasannya sederhana: pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, selain sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Selain itu, asupan pangan yang bergizi dan sehat menentukan kesehatan individu serta kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, “You are what you eat”. Menurut FAO (2000), suatu negara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa akan sangat sulit atau bahkan mustahil menjadi bangsa maju, makmur, dan berdaulat apabila kebutuhan pangannya bergantung besar pada impor.

Baca: Prof. Rokhmin Dahuri: SDM dan Kejujuran Jadi Kunci Indonesia Emas 2045

Namun, ketika Presiden Prabowo Subianto menjalankan agenda ambisius untuk mencapai kedaulatan pangan Indonesia, bangsa ini menghadapi tantangan klasik yang tak kalah besar: kekuatan laten mafia pangan. Jaringan bayangan para pedagang, importir, pejabat pemerintah korup, dan broker politik ini sejak lama memanipulasi pasokan dan harga pangan pokok—terutama beras, gula, bawang putih, daging sapi, kedelai, garam, dan minyak goreng— dengan menciptakan kelangkaan semu dan meraup keuntungan di atas penderitaan jutaan rakyat kecil.

Presiden Prabowo berulang kali menegaskan bahwa Indonesia harus lepas dari ketergantungan impor pangan. Dengan lebih dari 285 juta jiwa yang harus diberi makan, ketahanan pangan bukan sekadar isu ekonomi, melainkan persoalan kedaulatan bangsa. Presiden Soekarno dalam pidatonya pada peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor, 27 April 1957, menyampaikan pernyataan profetik bahwa “pangan adalah hidup matinya suatu bangsa”.

Tujuan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah memastikan petani, nelayan, dan produsen pangan domestik lainnya berdaya dan hidup sejahtera, mampu memenuhi kebutuhan nasional secara berkelanjutan, didukung teknologi modern (state of the art), sistem rantai pasok yang stabil, sistem perdagangan yang adil, dan intervensi negara yang efektif  ketika pasar gagal.

Sayangnya, mencapai kedaulatan pangan lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Selama berdekade-dekade, apa yang disebut “mafia pangan” tumbuh subur melalui celah  sistemik dan lemahnya penegakan hukum. Kelompok ini menguasai izin impor, menimbun komoditas pangan di gudang untuk mendongkrak harga, dan memanfaatkan inefisiensi birokrasi. Pengaruh mereka merasuk jauh ke dalam sistem politik dan ekonomi, sehingga reformasi menjadi sangat sulit.

Sebagai contoh, meskipun Indonesia termasuk salah satu produsen beras terbesar di dunia, negeri ini hampir setiap tahun tetap mengimpor beras. Paradoks ini berlanjut meski pemerintah mengklaim produksi beras meningkat signifikan hingga mencapai 31,2 juta ton per awal September tahun ini, dan stok beras pemerintah (BULOG) mencapai 3,9 juta ton metrik— tertinggi dalam sejarah—namun harga beras terus melonjak. Fenomena ini menjadi bukti nyata kuatnya cengkeraman mafia pangan.

Baca: Al-Fiqh Al-Wasathi, Bermazhab di Tengah Keberagaman Budaya

Pola serupa juga terjadi pada gula dan daging sapi, di mana praktik mafia merusak mekanisme pasar. Konsumen dan petani kecil selalu menjadi pihak yang dirugikan—menjual murah saat panen, tetapi menghadapi harga melambung saat pasokan “tiba-tiba” langka.

Presiden Prabowo mewarisi masalah yang membelit setiap pemerintahan sebelumnya. Memberantas mafia pangan membutuhkan lebih dari sekadar retorika populis—diperlukan reformasi kelembagaan yang kuat, sistem data yang transparan, dan penegakan hukum yang tegas. Pada saat yang sama, pemerintah harus menghindari kepanikan atau gangguan pada rantai pasok yang dapat memicu inflasi dan gejolak sosial.

Tantangan utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan meliputi:

  1. Mengakhiri perilaku  rente  di  lembaga-lembaga  pemberi  izin  impor  dan distribusi;
  2. Memastikan data produksi, stok, dan kebutuhan yang akurat, valid, dan real-time untuk mencegah manipulasi;
  3. Penegakan hukum dengan menghukum penimbun dan anggota mafia tanpa kompromi politik;
  4. Meningkatkan dan memperkuat produksi domestik; serta
  5. Menjamin rantai pasok yang stabil dan efisien.

Untuk meningkatkan produksi pangan domestik secara berkelanjutan, Indonesia harus melindungi dan merevitalisasi seluruh unit usaha produksi yang ada, baik di sektor tanaman pangan (beras, jagung, kedelai, sagu, sorgum); hortikultura (bawang putih, bawang merah, cabai, sayur-mayur, buah-buahan); perkebunan (sawit, kelapa, kakao, kopi, teh, vanila, rempah- rempah); peternakan (sapi, ayam, domba, kambing); perikanan tangkap; maupun akuakultur.

Secara bersamaan, sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan), peternakan, perikanan tangkap, dan akuakultur juga harus dikembangkan di wilayah baru di seluruh nusantara sesuai rencana tata ruang nasional, provinsi, dan kabupaten. Indonesia perlu merevitalisasi sistem irigasi yang ada dan membangun infrastruktur irigasi baru termasuk waduk dan saluran irigasi, serta memodernisasi teknologi budidaya melalui teknologi inovatif, termasuk smart farming.

Seluruh input pertanian seperti benih unggul, pupuk—khususnya pupuk organik, pestisida, serta alat dan mesin pertanian dengan harga terjangkau harus dapat diakses oleh semua petani. Teknologi pascapanen termasuk industri pengolahan dan pengemasan pangan juga harus diperkuat dan dikembangkan.

Jika mafia pangan dibiarkan tanpa kendali, visi kedaulatan pangan Presiden Prabowo bisa tinggal slogan belaka. Namun, bila pemerintahannya mampu membongkar jaringan yang mengakar ini dan memberdayakan petani serta nelayan, Indonesia dapat benar-benar menjamin ketersediaan pangan terjangkau bagi rakyatnya sekaligus memperkuat kemandirian dari pasar global yang bergejolak. Lebih jauh lagi, dengan luasnya lahan, air tawar, dan perairan laut yang didukung teknologi inovatif, Indonesia juga berpotensi memberi makan dunia melalui ekspor berbagai komoditas pangan.

Pertarungan melawan mafia pangan akan menguji tidak hanya kepemimpinan Prabowo, tetapi juga integritas institusi-institusi Indonesia. Dalam perjuangan kedaulatan pangan, memutus rantai korupsi dan kolusi adalah panen pertama bangsa   ini.

Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk menyumbangkan buah pikirannya melalui kanal ‘Risalah dan Opini.’ Kirimkan tulisan terbaik Anda melalui email redaksi@ikhbar.com

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.