Pendidik Adalah Badut, Fallacy Merdeka Belajar Masa Kini

Ilustrasi guru: Foto: Shutterstock

Oleh: Muhammad Qomaruddin (Pendidik di MTsN 1 Kota Cirebon)

TAHUKAH Anda apa itu Guru Badut? Dialah sosok guru yang patut ditertawakan. Cara mengajarnya yang lebih menekankan aspek hiburan dan lebih mementingkan keceriaan. Ada juga yang fokus mengejar tuntutan administrasi daripada menanamkan esensi pendidikan. Kesemuanya lahir atas fallacy para pendidik terhadap konsep Merdeka Belajar.

Banyak para pendidik yang salah paham terkait konsep dari Pendidikan Merdeka. Contohnya membiarkan anak-anak ribut bermain di kelas saat jam pelajaran berlangsung dengan alasan bahwa itu merupakan bagian dari memerdekakan anak-anak dalam belajar. Itu sebuah kekeliruan. Merdeka memang diartikan dengan bebas dari semua tekanan (belenggu). Akan tetapi, bukan ini yang sebenarnya harus terjadi.

Breakdown kepada apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia) bahwa “Pendidikan merupakan upaya secara sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi pekerti, dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan, dan pembiasaan dengan disertai perintah dan paksaan.” Artinya, ada unsur perintah dan paksaan dalam skenario pembelajaran agar menjadi efektif, efisien, dan berkualitas.

Baca: 165.768 Guru Madrasah Non-ASN Dapat Fasilitas BPJS, Ini Kriteria Penerimanya

Dalam Merdeka Belajar, kata “Perintah” dan “Paksaan” ditolak karena merujuk pada pengekangan kebebasan dan kesenangan siswa dalam pembelajaran. Kesadaran kebaikan harus menjadi hal terpenting untuk dibangkitkan tanpa harus memberi perintah ataupun memaksa siswa. Apakah benar seperti itu?

Benarkah sikap seorang siswa yang berteriak mencemooh guru di tengah pembelajaran lantaran aksi konyolnya yang ingin membuat pembelajaran menjadi menyenangkan? Ataukah aksi saling melempar jokes antar siswa dan guru yang terkadang melampaui koridor yang dengan alasan guru harus menjadi sahabat? Paradigma seperti ini juga keliru. Mari kita tengok bagaimana konsep Bapak Pendidikan tentang Merdeka Belajar.

Ki Hajar Dewantara melalui sistem Amongnya menjelaskan bahwa pendidikan yang beralaskan syarat “Paksaan-hukuman-ketertiban” (regeering- tucht en orde, inilah perkataan opvoedkunde) adalah sebuah bentuk penindasan hidup bagi kesehatan bagi anak. Maka sebagai alat, pendidikan sepatutnya berwujud pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan “Among-methode” atau metode Among. Melihat ini, sekilas apa yang Ki Hajar Dewantara memang sejalan dengan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas. Namun, pada esensinya beliau sebenarnya ingin kepada kita untuk belajar secara merdeka.

Konsep merdeka belajar ala Ki Hajar Dewantara

Konsep Among sebenarnya mengacu pada sistem pendidikan yang berkejiwaan dengan bersendikan Kodrat Alam, sebagai syarat untuk mencapai kemajuan yang secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.

Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat atau tangguh dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.

Menurut beliau, kodrat anak Indonesia ialah menerima perlakuan berdasarkan garis hidup atau kultur bangsanya. Dengan memberikan pendidikan yang bertentangan dengan kodrat alam anak, maka proses belajar-mengajar pasti akan terhambat dan tidak akan berjalan lancar. Dari segi nilai-nilai yang akan dikembangkan pasti juga akan menyimpang dari nilai-nilai budaya bangsanya.

Adapun yang dimaksud Merdeka ada dalam Pasal 2 (dua) Asas Tamansiswa 1922, yang menyatakan: “Dalam sistem ini (maksudnya among methode), maka pelajaran berarti mendidik anak-anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka fikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, akan tetapi harus juga mendidik si murid mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Indikatornya ada tiga macam:

1. Berdiri sendiri (zelfstanding),

2. Tidak tergantung kepada orang lain (anafhankelijk), dan

3. Dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Dari paparan di atas, jelas bahwa merdeka bukanlah membebaskan pembelajaran sebagaimana kehendak siswa. Akan tetapi, lebih kepada bagaimana membuat para peserta didik bisa merdeka dalam belajar; tidak terkukung batin dan pikirannya oleh egoisme sesaat serta memiliki motivasi tinggi. Hal ini tentunya memerlukan “Paksaan dan aturan” agar pembentukan karakter merdeka tersistematis dan terkontrol dengan baik, hingga para siswa mampu berdiri di atas kedua kalinya sendiri. Bukan melepasnya yang kelak membuat mereka kehilangan arah di masa depan.

Guru bukanlah badut!

Guru bukanlah badut yang ada sekadar untuk membuat siswa tertawa. Kegembiraan dan kesenangan belajar bukan hanya diukur dengan seberapa riuhnya suasana pembelajaran. Namun, bagaimana setiap siswa merasakan kenyaman pada pembelajaran. Guru lucu akan dikenal.

Baca: Keyakinan Fondasi Kesuksesan, Mendalami Makna Hijrah Syekh ‘Ala Musthafa An-Na’imah

Namun, pendidik terkenang justru mereka yang dapat memberikannya para siswa makna mendalam pada kehidupan mereka sebagai bekal perjuangan di masa depan. Kata-katanya selalu terngiang, sikapnya dijadikan teladan dan contoh, doa-doanya sangat dinantikan, serta tidak menutup kemungkinan masih dijadikan rujukan bertanya para peserta didik di masa dewasa.

Bila kita ingat tiga filosofi pendidikan, yaitu:

– Ing Ngarsa Asung Tuladha (di depan memberi teladan / menjadi contoh),
– Ing Madya Mangun Karsa (ditengah membimbing, memotivasi, memberi semangat, menciptakan situasi kondusif), dan
– Tutwuri Handayani, Tutwuri (mengikuti) bermakna: mengikuti perkembangan anak didik dengan sepenuh hati, berdasarkan cinta kasih melalui Asah, Asih dan Asuh. Handayani (menguatkan), bermakna menguatkan lahir dan batin anak didik dengan cara merangsang, memupuk, membimbing, menggairahkan dengan keteladanan dan tanpa paksaan, hukuman dan ketertiban (regeering, tught, and order) agar anak didik mampu mengembangkan kepribadiannya melalui disiplin diri (swa disiplin).

Sikap “tutwuri” adalah perilaku pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada murid, untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapapun.

Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidik bukanlah badut yang sekadar bertugas menghibur para siswa. Keduanya berada pada scope profesi berbeda. Jadilah guru sejati yang dapat membuat peserta didik merdeka hingga dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri, berdikari, dan sukses di masa depannya. Aaamin.[]

Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk menyumbangkan buah pikirannya melalui kanal ‘Risalah.’ Kirimkan tulisan terbaik Anda melalui email redaksi@ikhbar.com

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.