Ikhbar.com: Pernikahan tidak selalu tentang bertahan. Terkadang, cinta justru berarti melepaskan.
Dalam Webinar Sesi III Bedah Buku “Jodoh di Tangan Tuhan, Selebihnya Hasil Lobian (2025),” penulis sekaligus narasumber, Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, mengajak peserta menelaah sisi lain dari perpisahan—tanpa stigma dan tanpa keputusasaan.
“Ketakutan terbesar dalam relasi pasangan adalah perpisahan, baik karena perceraian maupun kematian,” ujar Ning Uswah, sapaan akrabnya, dikutip Rabu, 30 Juli 2025.

Cinta habis, rumah tangga kering
Lebih jauh, Ning Uswah menjelaskan bahwa perceraian tidak selalu menjadi tanda kegagalan. Justru, bisa menjadi jalan menuju pemulihan. Salah satu penyebab yang paling sering muncul adalah kebosanan dan hilangnya ketertarikan dalam hubungan.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur itu menuturkan kisah seorang ayah sepuh yang datang mengadu karena anaknya akan digugat cerai oleh menantunya. Alasannya hanya satu: bosan. Tidak ada pertengkaran besar, tidak pula kekerasan. Hanya kejenuhan terhadap relasi yang monoton.
“Dalam fikih, alasan apa pun yang membuat ibadah pernikahan tidak bisa dilanjutkan, memang diperbolehkan. Termasuk karena bosan atau karena pasangan tidak lagi menarik,” jelas Ning Uswah, mengutip Subul as-Salam karya Imam As-Shan‘ani.
Bahkan, lanjutnya, dalam sejarah fikih klasik, terdapat kisah seorang perempuan bernama Habibah yang menggugat cerai suaminya karena dianggap tidak tampan.
Ning Uswah menegaskan bahwa pernikahan adalah bentuk ibadah. Jika tidak dapat dijalani secara utuh, syariat menyediakan jalan keluar.
“Di sisi lain, ini bukti betapa demokratisnya fikih,” katanya.
Kekerasan dan pengkhianatan
Namun, tidak semua perceraian terjadi karena kebosanan. Banyak pula yang terpaksa berpisah karena menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)—baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi.
Menurut sosok yang juga Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) tersebut, KDRT bukan sekadar kejadian tunggal, tetapi membentuk pola yang berulang. Dalam situasi ini, bertahan justru bisa membahayakan.
“Kalau ada kekerasan, saya selalu bilang: pikirkan lagi, apakah hubungan ini masih layak dipertahankan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti persoalan perselingkuhan yang makin kompleks di era digital. Bukan lagi dilakukan secara diam-diam, tetapi sering kali terang-terangan dan difasilitasi oleh aplikasi pesan instan maupun media sosial.
Ning Uswah memetakan enam jenis perselingkuhan: accidental affair (tidak disengaja), cry for help affair (butuh validasi emosional), retaliatory affair (balas dendam), self-medication affair (karena hubungan yang dingin), tripod affair (cinta ganda), dan exploratory affair (sekadar coba-coba).
“Pasangan yang sudah salihah, cantik, bahkan spek bidadari pun bisa diselingkuhi,” ujarnya getir.
“Dan yang berselingkuh sering kali tidak berpikir panjang, padahal dampaknya bisa menghancurkan banyak hal: keluarga, reputasi, hingga relasi spiritual,” sambung Ning Uswah

Baca: Perceraian Itu Solusi atau Bencana? Begini Penjelasan Ning Uswah
Hak untuk melepaskan
Ning Uswah tidak hanya membedah kenyataan pahit rumah tangga, tetapi juga membuka wawasan tentang hak untuk memilih jalan perpisahan secara bermartabat.
“Jangan pernah bercita-cita mengubah pasangan. Itu bulshit (omong kosong). Tidak ada yang bisa mengubah seseorang kecuali dirinya sendiri,” tegas Ning Uswah.
Ia mengingatkan bahwa Islam menyediakan mekanisme penyelesaian konflik rumah tangga secara adil. Dalam kasus syiqaq (pertengkaran dua arah), juru damai dari kedua pihak dapat dihadirkan. Jika salah satu pihak nusyuz (melanggar nilai pernikahan), tersedia prosedur ishlah (damai) yang manusiawi.
Keputusan untuk bertahan atau berpisah, menurut Ning Uswah, tidak cukup hanya berdasarkan emosi. Harus ada penilaian jujur terhadap usaha dan niat tiap-tiap pihak.
“Kalau masih ada sedikit usaha dari pasangan, mungkin masih bisa dipertahankan. Tapi kalau sama sekali tidak ada, lepaskan,” ujarnya.
Penulis yang juga dikenal sebagai praktisi fikih nisa ini juga menegaskan bahwa anak tidak serta-merta menjadi korban karena perceraian. Justru, anak dapat lebih terlindungi ketika tidak tumbuh di rumah yang dipenuhi kekerasan atau pengkhianatan.
“Pikirkan baik-baik. Kalau memang berpisah adalah jalan baru, itu bukan kiamat,” tuturnya.
Baca: Suami Selingkuh, Bertahan atau Gugat Cerai?
Cara berdamai dengan perasaan
Menutup sesi, Ning Uswah menyampaikan bahwa perpisahan, meski menyakitkan, bukan akhir segalanya. Justru bisa menjadi ruang pemulihan dan pembelajaran paling jujur dalam hidup seseorang.
Berdamai dengan perpisahan bukan berarti menutup luka secara instan. Ini adalah proses menerima kenyataan bahwa tidak semua yang diperjuangkan harus dimiliki. Melepaskan pun bisa menjadi bentuk cinta tertinggi—kepada diri sendiri, kepada pasangan, dan kepada hidup itu sendiri.
Ia menawarkan beberapa cara untuk menghadapi perpisahan secara sehat.
Pertama, beri waktu kepada diri sendiri untuk merasakan semua emosi. Jangan buru-buru terlihat baik-baik saja. Menangis, marah, dan kecewa adalah hal yang wajar, asalkan tidak dibiarkan berlarut.
Kedua, hindari menyalahkan diri. Banyak perempuan, menurutnya, cenderung memikul seluruh beban kesalahan setelah perpisahan. Padahal, hubungan adalah interaksi dua arah. Tidak adil jika rasa gagal ditimpakan hanya kepada satu pihak.
Ketiga, rawat kesehatan spiritual. Bukan dengan menyakiti diri atau terjebak dalam rasa bersalah, melainkan dengan memperkuat perenungan, kontemplasi, dan koneksi dengan Tuhan. Fokusnya bukan pada siapa yang salah, melainkan pada apa yang bisa dipelajari dan bagaimana menguatkan hati untuk melangkah lagi.
“Kalau Tuhan mengizinkanmu kehilangan, berarti Dia juga menyiapkan ruang baru untukmu tumbuh,” ujarnya.
Ning Uswah menyarankan membiasakan diri dengan aktivitas reflektif: membaca, menulis, berkontemplasi, atau sekadar duduk tenang untuk menata ulang makna hidup. Tak perlu sibuk mencari pelarian, apalagi berburu validasi dari orang lain. Perpisahan bukan aib, dan tidak harus ditutupi dengan kepura-puraan bahagia.
Sebaliknya, ini saatnya seseorang kembali mengenali dirinya sendiri—tanpa topeng relasi, tanpa ekspektasi pasangan, dan tanpa beban peran rumah tangga.
“Luka tidak harus buru-buru sembuh. Tapi jangan biarkan ia menjadi rumah bagi dendam atau penyesalan,” katanya tegas.
Bagi Ning Uswah, jalan damai bukan tentang melupakan, tetapi melepaskan dengan sadar. Mengucapkan terima kasih atas apa yang telah terjadi, lalu melangkah pelan-pelan menuju masa depan dengan hati yang lebih jernih dan dada yang lebih lapang.
“Intinya, tidak ada pernikahan yang salah. Hanya Tuhan tempat segala kesetiaan,” pungkasnya.