Ikhbar.com: Di banyak tempat, pesantren hadir untuk membenahi masyarakat yang sudah ada. Gedongan justru berbeda. Pesantren di timur Cirebon, Jawa Barat, yang didirikan sekitar tahun 1880 M ini justru lahir dari langkah seorang ulama yang memilih mengasingkan diri.
KH Muhammad Said (Mbah Said), sang pendiri, melakukan uzlah alias mengasingkan diri di salah satu hutan wilayah Keraton Kesepuhan Cirebon. Niatnya bukan mendirikan lembaga pendidikan, melainkan mencari ketenangan spiritual.
“Uzlah adalah langkah memperbaiki diri, bukan hanya menjauh dari masyarakat. Dari situlah kemudian lahir ruang untuk memperbaiki orang lain,” tutur KH Taufiqurrahman Yasin, Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Gedongan Cirebon sekaligus cicit Mbah Said, dalam Sinikhbar | Siniar Ikhbar Episode Tasawuf dalam Lintasan Sejarah Ponpes Gedongan, di Ikhbar TV, dikutip pada Jumat, 19 September 2025.
Baca: Pentingkah Ilmu Filsafat dan Psikologi bagi Santri? Begini Ulasan Kiai Taufik Gedongan
Menurut Kiai Taufiq, sapaan akrabnya, santri-santri pertama yang ikut Mbah Said berjumlah 24 orang. Mereka menikah, menetap, dan membangun rumah di sekitar hutan.
“Lalu, lahirlah masyarakat baru yang menjadikan pesantren sebagai pusat kehidupan,” katanya.

Baca: Jelajah Pesantren Era Kolonial lewat Manuskrip Kuno Buntet Cirebon
Pesantren membangun desa
Di sisi lain, lanjutnya, kelahiran Gedongan juga menegaskan hubungan unik antara pesantren dan masyarakat.
“Di Gedongan, pesantren yang membentuk desa. Karena itu, insyaallah, tidak ada warga yang abai pada salat dan tidak ada masyarakat yang anti-kiai,” kata Kiai Taufiq.
Tradisi sosial-religius dijaga ketat. Pengurus masjid dan penyelenggara acara keagamaan wajib berasal dari keturunan 24 santri awal.
“Bahkan hingga kini, warga masih mengadu kepada kiai, bukan hanya soal ibadah, juga urusan sehari-hari,” kata Kiai Taufiq.
Banyak kisah spiritual tentang Mbah Said yang menguatkan ikatan masyarakat. Salah satunya tentang sumur keramat di Pesantren Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon bagian barat. Setelah enam kali digali tanpa hasil, Mbah Said turun sendiri ke lubang, menancapkan kayu, membaca doa, lalu air pun memancar.
“Di sini (Gedongan) juga seperti itu, hanya saja sekarang sumurnya sudah diuruk,” kata Kiai Taufiq.
Baca: Mengapa Pesantren Perlu Terhubung dengan Jaringan Global?
Syariat sebagai fondasi
Meskipun Gedongan berangkat dari spirit tasawuf, tetapi sejak mulanya, pesantren tua ini senantiasa menjadikan syariat sebagai pijakan dalam dakwah dan pendidikan.
“Kiai Said menekankan agar tauhid dan syariah dipenuhi dulu. Tirakat puasa atau amalan berat tidak dianjurkan sebelum memahami dasar-dasar itu,” jelas Kiai Taufiq.
Warisan itu menjelma dalam aturan belajar santri. Pada masa Kiai Siraj, putra terakhir Mbah Said, semua santri diwajibkan menghafal Aqa’id Khamsin (kumpulan 50 sifat Allah dan rasul-Nya). Tradisi ini menegaskan bahwa Gedongan tidak memberi ruang bagi jalan pintas dalam spiritualitas. Tarekat hanya bisa ditempuh bila syariat telah tertanam kuat.
Cerita kunjungan Mbah Said ke adiknya di Buntet memberi gambaran jelas. Melihat santri-santri sibuk wirid, kakek buyut mantan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj itu mengingatkan agar lebih dulu belajar fikih. Pesan itu menjadi garis besar pemikiran Gedongan: hakikat tanpa syariat adalah bangunan tanpa fondasi.
“Santri itu harus diajari tata cara thaharah (bersuci dari hadats) lebih dulu, jangan langsung zikir,” katanya.
Selain ilmu, Pesantren Gedongan juga dinilai telah mewariskan karakter sosial.
“Urip iku sing ngalah. Langka wong ngalah kalah (Hidup itu harus mengalah. Tidak ada orang yang mengalah kemudian kalah,” pesan Kiai Siroj, putra Mbah Said, yang masih diingat cucunya hingga kini.
Bagi Gedongan, mengalah merupakan aksi dari prinsip tawadu, yakni menerima kebenaran dari siapa pun. Karakter inilah yang membuat kehidupan di Pesantren Gedongan senantiasa terasa teduh.
“Yang muda tidak melawan yang tua, yang berilmu tinggi tidak merendahkan yang sederhana,” kata Kiai Taufiq.
Baca: Reformasi Fikih ala Imam Syafi’i
Pesan untuk generasi masa kini
Pesantren Gedongan dinilai tidak mengejar kuantitas santri. Prinsip ini membuat Gedongan tetap teguh di tengah gelombang modernisasi pendidikan pesantren.
“Ukuran pondok bukan banyaknya santri, melainkan sejauh mana kajian ilmu Islam berjalan,” tegas Kiai Taufiq.
Bagi generasi masa kini, warisan Pesantren Gedongan adalah pelajaran tentang keseimbangan. Sejarah bukan sekadar nostalgia, melainkan penunjuk arah.
“Sejarah itu penghubung antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Tugas kita adalah memperbarui turats (literatur), menerjemahkannya dengan bahasa yang kontekstual,” pungkas Kiai Taufiq.