Ikhbar.com: Di tengah masyarakat yang kian tersegmentasi oleh batas profesi, identitas organisasi kemasyarakatan (ormas), golongan keagamaan, hingga tafsir ajaran yang saling bersaing, muncul satu sosok yang justru melintasi semua itu dengan tenang, teguh, dan tanpa kepentingan sektarian: Prof. Dr. H. Rokhmin Dahuri, M.S.
Prof. Rokhmin, sapaan akrabnya, barangkali kerap terdengar sebagai Guru Besar Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor (IPB University), mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, atau penasihat di berbagai organisasi keislaman nasional. Namun, lebih dari daftar gelar dan jabatan, ia adalah figur langka yang dinilai mampu memadukan ilmu, iman, dan integritas secara utuh.
Ilmu, oleh Prof. Rokhmin, dipahami sebagai media beribadah. Sedangkan profesi sebagai jalan dakwah, dan laut sebagai cermin spiritualitas dan keimanan.
“Hidup itu ringan kalau semua diniatkan karena Allah,” tuturnya dalam program Sinikhbar | Siniar Ikhbar bertajuk “Islam Bahari ala Rokhmin Dahuri” di Ikhbar TV, dikutip pada Senin, 28 Juli 2025.

Baca: Jadilah Laut! Tips Hadapi Fitnah, Kecewa, dan Patah Hati ala Prof. Rokhmin Dahuri
Lahir di pesisir Gebang, Cirebon, Jawa Barat, Prof. Rokhmin tumbuh dalam kehidupan keras. Ayah-ibunya adalah nelayan dan pedagang ikan yang buta huruf. Sejak kelas 4 SD, ia sudah turun ke laut, berangkat selepas Asar, pulang larut malam, menantang ombak dan takdir. Namun, tak ada yang menyangka anak kampung ini kelak mengisi forum-forum internasional, menjadi dosen tamu di berbagai negara, dan memperjuangkan konsep maritim Nusantara hingga diakui dunia.
“Saya ini orang lapangan, tahu betul pahit-getirnya hidup nelayan tradisional,” ujarnya, mengenang.
Pengalaman hidup itu membentuk cara pandangnya. Meskipun bergelut dalam dunia riset, birokrasi, dan pengembangan kebijakan kelautan, Prof. Rokhmin tetap menjadikan dimensi spiritual sebagai fondasi kehidupannya.
Prof. Rokhmin menyebut kedekatan kepada Allah sebagai sumber semangat dan stabilitas batin. Salat malam, membaca, dan menulis ia jalani bukan sebagai rutinitas elite, melainkan sebagai bentuk penghambaan dan proses pemulihan diri.
“Kalau hidup ini orientasinya akhirat, dunia itu bonus. Difitnah atau dizalimi pun tidak goyah, karena yang dikejar bukan popularitas atau jabatan,” katanya.
Baca: ‘Islam Bahari’ sebagai Solusi Kebangkitan Ekonomi
Aspek lain yang mencolok dari sosok ini adalah keterlibatannya dalam berbagai organisasi keagamaan yang umumnya berjarak secara kultural maupun ideologis. Di saat yang hampir bersamaan, Prof. Rokhmin pernah menjadi penasihat bidang ekonomi di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), duduk sebagai dewan pakar di Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, juga di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Prof. Rokhmin dikenal memiliki hubungan baik dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), serta sejumlah komunitas dan gerakan lainnya.
Dalam konteks Indonesia yang cenderung membingkai afiliasi keagamaan secara eksklusif, posisi semacam itu bukan hal lazim. Namun, bagi Prof. Rokhmin, kerja sama lintas kelompok bukan soal strategi, melainkan bentuk keteladanan.
“Islam bukan tentang bendera organisasi, tapi tentang kerja nyata, kebermanfaatan, dan keberpihakan terhadap kemaslahatan,” ungkapnya.
“Saya ingin menunjukkan bahwa Muslim yang benar adalah muslim yang ramah, sejuk, produktif, yang tangan di atas, yang berbagi, yang tidak gampang mengkafirkan orang atau menjelekkan faham lain,” sambungnya.
Baca: Prof. Rokhmin: Mangrove Karunia Allah Penjaga Kehidupan
Ia mengacu pada semangat ilmuwan Muslim klasik yang menggabungkan kedalaman spiritual dengan keluasan ilmu, seperti ahli fikih yang juga matematikawan, atau ilmuwan yang sekaligus penghafal Al-Qur’an.
“Itu hanya mungkin jika kita rajin membaca, berpikir terbuka, dan tidak terjebak pada kotak-kotak buatan manusia,” lanjutnya.
Prof. Rokhmin Dahuri cukup berhasil mewakili model intelektual Muslim yang menyatukan iman dan ilmu, tanpa mempertentangkan keduanya. Gagasan dan kerja ia jalani secara berdampingan, tanpa perlu narasi besar yang berlebihan.
Melalui kiprahnya, Prof. Rokhmin menunjukkan bahwa kerja ilmiah, kerja sosial, dan komitmen spiritual bisa berjalan seiring. Dalam era disrupsi yang ditandai oleh keterpecahan sosial dan semangat eksklusivisme, teladan semacam ini bisa menjadi rujukan.
Bagi generasi muda yang ingin memahami bagaimana Islam yang inklusif dan berbasis kerja bisa dihidupkan, jejak Prof. Rokhmin mungkin bisa menjadi titik mula.
Menurutnya, filosofi laut sangat relevan untuk ditanamkan kepada anak muda: berpikiran luas, terbuka, dinamis, kolaboratif, dan tahan banting.
“Berpikiranlah luas seperti laut,” ujarnya.