Fikih Kemerdekaan: Memaknai Kebebasan Hakiki dalam Islam

“Orang yang terperangkap oleh syahwatnya adalah budak yang paling hina. Kebebasan sejati tercapai ketika manusia tunduk pada kebenaran syariat, bukan hawa nafsu.”
Ilustrasi seorang pemuda Muslim sedang mengibarkan bendera Indonesia. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Kemerdekaan dalam Islam bukan sekadar bebas dari penindasan fisik atau politik, melainkan hakikat teologis yang melekat pada manusia sejak lahir.

Allah Swt berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra: 70)

Ayat ini menegaskan kemuliaan manusia dan haknya untuk hidup bebas dari perbudakan, baik secara fisik maupun spiritual.

Dalam perspektif Islam, kemerdekaan adalah pembebasan manusia dari tiga perbudakan utama: penindasan sesama makhluk, kebodohan akal, dan belenggu hawa nafsu.

Puncak kemerdekaan tercapai ketika manusia mampu menaklukkan hawa nafsunya sendiri. Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum Ad-Din: “Orang yang terperangkap oleh syahwatnya adalah budak yang paling hina. Kebebasan sejati tercapai ketika manusia tunduk pada kebenaran syariat, bukan hawa nafsu.”

Baca: Agustus Tiba, Ini Hukum Pasang Bendera Merah Putih dan Dalil Cinta Negeri

Kebebasan beragama dan penegakkan keadilan

Islam menegaskan prinsip kebebasan beragama, sebagaimana firman Allah Swt:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Imam At-Thabari menekankan bahwa hidayah adalah urusan hati dan kesadaran batin, bukan hasil paksaan. Kebebasan beragama menjadi fondasi kemerdekaan, manusia memilih iman dengan kesadaran, kemudian tunduk pada syariat Allah.

Selain itu, kemerdekaan juga terkait dengan penegakan keadilan. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواۖ اعْدِلُواۗ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi yang bertindak dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)

Keadilan adalah pilar kemerdekaan yang membebaskan manusia dari dominasi kepentingan diri, dendam pribadi, dan ketidakadilan sosial. Dengan menegakkan keadilan, kemerdekaan sejati dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Baca: Mendoakan Negara Aman Lebih Utama ketimbang Meminta Terhindar dari Kekafiran

Menuntut ilmu dan menjaga persaudaraan

Kebodohan adalah perbudakan pikiran. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Ilmu mencerahkan akal dan membebaskan manusia dari manipulasi serta penindasan ideologis. Imam As-Syafi’i menegaskan bahwa kebaikan dunia dan akhirat hanya dapat diraih melalui ilmu. Dengan akal yang terdidik, manusia mampu menegakkan kemerdekaan hakiki dan menjalankan tanggung jawab moral.

Selain ilmu, persatuan umat menjadi benteng kemerdekaan. Allah Swt berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواۖ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِۦ إِخْوَانًاۚ وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَاۗ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ آيَاتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali Allah, janganlah bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika dahulu kamu bermusuhan. Lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. Kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari sana. Demikian Allah menjelaskan ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)

Persaudaraan bukan sekadar ikatan emosional, tetapi kewajiban saling menolong, menasihati, dan menutupi aib, sehingga umat tetap kuat menghadapi tekanan eksternal.

Baca: Menilik Isi Piagam Madinah, Dokumen Nasionalisme Umat dalam Sejarah Islam

Hak membela kaum tertindas dan diri sendiri

Kemerdekaan juga berarti membela mereka yang tertindas. Allah Swt berfirman:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنكَ وَلِيًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنكَ نَصِيرًا

“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.’” (QS. An-Nisa: 75)

Membela kaum tertindas adalah fardhu kifayah, kewajiban kolektif umat Islam, sekaligus implementasi kemerdekaan moral dan spiritual. Hak membela diri juga dijamin Allah:

وَالَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ

(Juga lebih baik bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan zalim, mereka membela diri.” (QS. Asy-Syura: 39)

Imam Fakhruddin Ar-Razi menekankan bahwa membela diri adalah menjaga martabat sekaligus mencegah kezaliman lebih besar, dalam koridor keadilan dan proporsionalitas.

Di abad ke-21, kemerdekaan menghadapi ancaman baru: informasi palsu, penyusupan ideologi asing, budaya konsumtif, dan jeratan ekonomi riba. Generasi muda, termasuk kalangan pesantren, memiliki peran strategis sebagai garda pertahanan kemerdekaan hakiki.

Generasi muda harus menjadi mujahid digital: menyebarkan konten positif, melakukan dakwah kreatif, serta memanfaatkan teknologi untuk pemberdayaan umat. Dengan karakter yang kuat, disiplin, dan integritas, kemerdekaan tidak hanya dipertahankan, tetapi juga diisi dengan karya, prestasi, dan manfaat bagi masyarakat luas.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.