Ikhbar.com: Salah satu hal yang menarik dari kesenian tradisional ialah bahwa banyak kesenian tradisional yang tidak hanya berorientasi sebagai entertainment belaka, melainkan juga memiliki nilai-nilai edukasi yang embedded di dalam performanya. Nilai-nilai tersebut dapat diamati dari gerakan, kostum, bebunyian, maupun alat musik yang digunakan.
Ambil contoh tari topeng Cirebon. Menurut Wira, pengelola Sanggar Putu Panji Asmara yang berlokasi di desa Slangit, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, lima wanda yang ada pada tari topeng Cirebon menyimbolkan fase kehidupan manusia sejak lahir hingga tutup usia.
Wanda adalah sebutan untuk variasi topeng yang digunakan pada tari topeng. Setiap wanda memiliki gerakan tari dan aksen topeng yang berbeda-beda. Dimulai dari wanda pertama, yaitu Panji.
Wanda ini menyimbolkan fase manusia yang baru lahir. Gerakannya lembut dan halus, serta tidak melibatkan seluruh anggota tubuh. Topengnya berwarna putih polos tanpa aksen yang mencolok menandakan bahwa manusia terlahir suci. Panji merupakan akronim dari “Mapan kang siji” yang bisa dimaknai sebagai kepatuhan kepada Yang Maha Esa.
Fase anak-anak digambarkan oleh wanda yang kedua, yaitu Samba. Gerakan Samba yang lincah, lucu dan luwes, serta seringkali diselingi tawa menggambarkan dunia anak-anak yang gembira dan ceria.
Nama lain dari wanda ini adalah Pamindo yang berarti ‘kedua’ atau fase kedua. Wanda ketiga, Rumyang, menyimbolkan fase remaja. Di mana gerakannya kerap berubah-ubah, kadang ajeg kadang sembrono. Hal ini menunjukkan kepada karakteristik remaja yang emosinya belum matang dan tergesa-gesa.
Wanda yang keempat ialah Tumenggung. Wanda ini menggambarkan fase manusia yang menginjak usia kedewasaan dan telah menemukan jati diri. Gerakannya tegas, berkepribadian, bertanggungjawab dan memiliki jiwa korsa yang paripurna. Wanda Tumenggung kadangkala disebut juga dengan Patih.
Klana adalah wanda kelima atau terakhir dari lima wanda tari topeng Cirebon. Sebagaimana namanya, Klana atau kelana atau mengembara, fase ini adalah final dari fase kehidupan manusia. Entah ia akan dikuasai oleh angkara murka, atau berakhir baik.
Wira menambahkan, setiap perjalanan fase manusia yang tergambar di dalam tari topeng ini akan berakhir ke kotak topeng, atau kembali kepada muasalnya. Ibarat dari tanah kembali ke tanah.
Secara keseluruhan, tari topeng Cirebon menunjukkan pengalaman batin yang dijalani oleh setiap manusia di berbagai fase kehidupannya. Pada akhirnya, ia diberikan pilihan akan menjadi orang yang baik atau jahat. Semua pilihan tersebut menimbulkan konsekuensi yang kembali kepada dirinya sendiri.