Siapakah yang Layak Disebut Ulama? Ini Syarat dan Ketentuannya

Ilustrasi ulama. UNSPLASH/Mhrezaa

Ikhbar.com: Predikat ulama identik menempel pada diri seseorang yang memiliki kecakapan lebih di bidang keagamaan. Namun, apakah definisi itu cukup untuk menyematkan label keulamaan pada diri seseorang?

Dalam kajian bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari lafaz “alim” yang berarti orang yang mengetahui. Sedangkan secara istilah, pemaparan mengenai ulama terinsipirasi dari penjelasan dalam QS. Fathir: 28. Allah Swt berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Baca: Tafsir QS. An-Nisa Ayat 102: Keseimbangan Ibadah dan Keselamatan Jiwa

Memiliki sifat takut

Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qursyi Ad-Damasyqi dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzhim menjelaskan, QS. Fathir: 28 menegaskan bahwa status keulamaan seseorang ditentukan oleh karakter khasyyah (yang takut) yang dimilikinya. Oleh karena itu, hanya mereka yang memiliki rasa takut kepada Allah-lah yang pantas disebut ulama.

Ketakutan itu muncul karena seorang ulama merupakan al-arif billah atau seseorang yang mengetahui atau mengenal Allah Swt. Pengetahuan itu menyasar pada sifat-sifat kesempurnaan hingga ke-Maha-Kuasaan yang dimiliki Allah Swt.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan:

قال علي بن أبي طلحة ، عن ابن عباس في قوله تعالى: ( إنما يخشى الله من عباده العلماء ) قال: الذين يعلمون أن الله على كل شيء قدير

“Ali bin Abi Thalhah berkata, beliau meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah dalam QS. Fathir: 28, beliau berkata, ‘Ulama itu adalah orang-orang yang mengetahui dan meyakini bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu.”

Riwayat lainnya menyebutkan:

قال ابن لهيعة، عن ابن أبي عمرة، عن عكرمة، عن ابن عباس قال: العالم بالرحمن من لم يشرك به شيئا، وأحل حلاله، وحرم حرامه، وحفظ وصيته، وأيقن أنه ملاقيه ومحاسب بعمله

“Ibnu Luhai’ah berkata, beliau meriwayatkan dari Ibnu Abi Amroh, dari Ikrimah dan dari Ibnu Abbas, beliau berkata, ‘Orang yang mengenal Allah adalah orang yang sedikit pun tidak menyekutukan-Nya, selalu menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, menjaga wasiat-Nya, dan ia meyakini bahwa ia akan berjumpa dengan-Nya dengan amal yang akan dihisab Allah Swt.”

Kekuatan rasa takut

Rasa takut menjadi identitas utama para ulama karena akan sangat menentukan derajat mereka di hadapan Allah Swt.

وقال سعيد بن جبير: الخشية هي التي تحول بينك وبين معصية الله عز وجل

“Said bin Jubair, khasyyah itu adalah sesuatu yang menghalangi antara dirimu dan maksiat kepada Allah Swt.”

Pendapat lainnya, sebagaimana yang diungkapkan Hasan Al-Bashri:

وقال الحسن البصري: العالم من خشي الرحمن بالغيب، ورغب فيما رغب الله فيه، وزهد فيما سخط الله فيه، ثم تلا الحسن: (إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور)

“Hasan Al Bashri berkata, ‘Ulama adalah orang yang takut kepada Allah dalam keadaan sendirian, senang dengan apa yang disenangi dan dicintai Allah, zuhud terhadap apa yang dibenci Allah.”

Sedangkan Ibnu Mas’ud berkata:

وعن ابن مسعود رضي الله عنه، أنه قال: ليس العلم عن كثرة الحديث، ولكن العلم عن كثرة الخشية

“Ibnu Mas’ud berkata, ‘Ilmu itu bukan dengan memperbanyak bicara, akan tetapi ilmu itu adalah dari banyaknya takut kepada Allah.”

Sementara itu, Sufyan Ats-Tsauri membagi ulama menjadi tiga tingkatan:

وقال سفيان الثوري، عن أبي حيان [ التميمي ]، عن رجل قال: كان يقال: العلماء ثلاثة: عالم بالله عالم بأمر الله، وعالم بالله ليس بعالم بأمر الله، وعالم بأمر الله ليس بعالم بالله. فالعالم بالله وبأمر الله: الذي يخشى الله ويعلم الحدود والفرائض. والعالم بالله ليس بعالم بأمر الله: الذي يخشى الله ولا يعلم الحدود ولا الفرائض. والعالم بأمر الله ليس بعالم بالله: الذي يعلم الحدود والفرائض، ولا يخشى الله عز وجل.

“Sufyan Ats Tsauri berkata, beliau meriwayatkan dari Abi Hayyan At Tamimi, dari seorang laki-laki, beliau berkata, ‘Ulama itu ada tiga. Pertama, ulama yang mengenal Allah dan mengetahui perintah-Nya. Kedua, ulama yang mengenal Allah akan tetapi tidak mengetahui perintah-Nya. Ketiga, ulama yang mengetahui perintah Allah akan tetapi tidak mengenal-Nya.”

Ulama yang pertama adalah ulama yang takut kepada Allah dan mengetahui hudud (batasan-batasan) dan kewajiban-kewajiban yang Allah Swt berikan kepadanya. Ulama kedua adalah ulama yang takut kepada Allah akan tetapi ia tidak mengetahui hudud dan kewajiban-kewajiban tersebut. Sedangkan ulama ketiga adalah ulama yang mengetahui hudud dan kewajiban-kewajiban dari Allah akan tetapi ia tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt.

Baca: Kerap Dianggap tak Ada, Ini Daftar Ilmuwan Perempuan Muslim Dunia

Tanda-tanda keulamaan

Lantas, dalam praktik lebih umum, apa saja yang menandai seseorang layak disebut sebagai ulama? Dan bagaimana pula ciri-ciri yang terdapat pada dirinya?

Habib Abdullah Al-Haddad, dalam Nashaihud Diniyyah, menyebut sejumlah tanda/indikator karakter ulama:

فمن علامات العالم: ان يكون خاشعا متواضعا خاءفا مشفقا من خشية الله زاهدا فى الدنيا قانعا باليسير منها منفقا الفاضل عن حاجته مما فى يده. ناصحاً لعباد الله. رحيما بهم أمرا بالمعروف ناهيا عن المنكر. مسارعا فى الخيرات ملا زما للعبادات . ووقار واسع الصدر لا متكبرا ولا طامعا فى الناس ولا حريصا على الدنيا ولا جامعا للمال ولا مانعا له عن حقه ولا فظا ولا غليظا ولا مماريا ولا مخاصما ولا قاسيا ولا ضيق الصدر ولا مخادعا ولا غاشا ولا مقدما للاغنياء على الفقراء ولا مترددا الى السلاطين

”Tanda/ciri orang alim (ulama) antara lain pembawaannya tenang, rendah hati, selalu merasa takut kepada Allah, bersahaja, qanaah/menerima, suka memberi, membimbing umat, penyayang, selalu mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan/maksiat, bersegera dalam kebaikan, senang beribadah, lapang dada, lembut hati, tidak sombong, tidak berharap pada pemberian orang, tidak ambisi kemegahan dan jabatan, tidak suka menumpuk-numpuk harta, tidak keras hati, tidak berlaku kasar, tidak suka pamer, tidak memusuhi dan membenci orang, tidak picik, tidak menipu, tidak licik, tidak mendahulukan orang kaya daripada orang miskin, dan tidak sering-sering mengunjungi penjabat pemerintahan/penguasa”.

Sementara menurut Imam Al-Ghazali, sifat atau ciri para ulama adalah sebagai berikut:

واعلم ان اللائق بالعالم المتدين ان يكون مطعمه وملبسه ومسكنه وجميع ما يتعلق بمعاشه فى دنياه وسطا. لا يميل الى الترفه والتنعم.

“Ketahuilah, bahwa yang patut/pantas disebut ulama ialah orang yang makananannya, pakaiannya, tempat tinggalnya dan hal- hal lain yang berkaitan dengan kehidupan duniawinya sangat sederhana, tidak bermewah-mewahan, dan tidak berlebihan dalam kenikmatan.”

Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali kembali menegaskan bahwa ulama adalah:

وكل واحد منهم كان عابدا و زاهدا وعالما بعلوم الآخرة وفقيها فى مصالح الخلق ومريدا بفقهه وجه الله تعالى

“Ulama adalah orang-orang yang tekun ibadah, zuhud, berilmu tentang akhirat, mengerti kemaslahatan umat, dan ilmunya tersebut ditujukan untuk mengabdi kepada Allah Swt.”

Alhasil, dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama adalah bukan label yang bisa secara sembarang disandang setiap orang. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad Saw secara tegas menyatakan:

الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ

“Ulama adalah ahli waris para nabi.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.