Ikhbar.com: Istitha’ah dalam konteks fikih merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjalankan ibadah haji. Konsep ini menjadi penting dalam menentukan siapa yang wajib menjalankan ibadah haji dan siapa yang tidak.
Dalam QS Ali Imran ayat 97, Allah Swt berfirman:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَا مُ اِبْرٰهِيْمَ ۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَا نَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّا سِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَا عَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِ نَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Baca: Istitha’ah Haji menurut Muhammadiyah dan NU
Pandangan beragam
Para imam mazhab menyajikan pandangan yang beragam, akan tetapi saling melengkapi tentang aspek-aspek yang membentuk istitha’ah haji. Pendapat-pendapat tersebut menggarisbawahi pentingnya kesiapan dalam berbagai dimensi untuk menjalankan rukun Islam kelima tersebut.
Imam Malik menekankan pada kesehatan jasmani dan kekuatan fisik sebagai komponen utama istitha’ah. Imam Malik berpendapat bahwa kemampuan untuk sampai ke Baitullah dengan kondisi sehat jasmani dan tanpa ketergantungan pada kendaraan merupakan inti dari istitha’ah.
Pandangannya tersebut dapat dijumpai dalam Muntaqa Syarah Al-Muwattha dan Bidayatul Mujtahid, serta menggambarkan prioritas pada kemampuan fisik individu untuk melaksanakan ibadah haji.
Sementara itu, Imam Syafi’i memperluas konsep istitha’ah dengan membaginya menjadi dua, yakni kemampuan diri sendiri dan kemampuan karena bantuan orang lain.
Menurut Imam Syafi’i, seperti yang diuraikan dalam Al-Umm dan Majmu’ Syarh al-Muhazzab, keamanan selama perjalanan dan ketersediaan perbekalan dan kendaraan adalah bagian integral dari istitha’ah. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain kesehatan fisik, faktor eksternal seperti keamanan dan logistik juga berperan penting dalam kemampuan menjalankan haji.
Imam Hanafi memberikan perspektif yang lebih luas terhadap istitha’ah dengan memasukkan kemampuan finansial, kesehatan, dan keamanan dalam perjalanan.
Dalam Al-Banayah fi Syarh al-Hidayah, Imam Hanafi menegaskan bahwa kemampuan untuk membiayai perjalanan dan kondisi keamanan selama di perjalanan merupakan syarat penting istitha’ah.
Pendekatan ini mencerminkan pemahaman bahwa ibadah haji tidak hanya menuntut kesiapan fisik dan finansial, tapi juga kondisi perjalanan yang aman.
Sedangkan Imam Hanbali, dalam Al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad, menyoroti pentingnya perbekalan dan kendaraan sebagai indikator istitha’ah.
Perspektif tersebut, yang juga menekankan pada hadis-hadis terkait, menggarisbawahi bahwa kesiapan finansial untuk menghadapi logistik perjalanan merupakan komponen penting dari kemampuan haji.
Baca: Cara Nabi Ibrahim Temukan Fondasi Ka’bah
Isthita’ah modern
Sementara itu, para ulama kontemporer menambahkan dimensi baru dalam konsep istitha’ah dengan menekankan aspek kesehatan dan kesempatan.
Mereka berargumen bahwa di era modern, dengan tantangan kesehatan global dan kesempatan terbatas untuk haji karena kuota atau kebijakan negara, aspek kesehatan dan kesempatan menjadi semakin signifikan. Pandangan ini mencerminkan pemahaman bahwa istitha’ah bukan hanya tentang kesiapan di masa lalu, tapi juga tentang kemampuan dan kesempatan di era saat ini.
Dengan demikian, konsep istitha’ah haji mencakup berbagai dimensi, yang mencerminkan kesiapan seorang Muslim untuk menjalankan ibadah haji.
Istitha’ah haji bisa terdiri dari kesehatan fisik, keamanan perjalanan, hingga kesiapan finansial. Setiap aspek memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan ibadah haji yang lancar dan bermakna.