Ikhbar.com: Juru bicara pernikahan Kaesang Pengarep dengan Erina Gudono, Gibran Rakabuming Raka melarang adanya sumbangan dalam resepsi pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo tersebut.
Gibran menegaskan, pihak keluarga pun tidak akan menyediakan kotak sumbangan untuk menaruh amplop kondangan yang lazim ditemukan dalam sebuah acara resepsi pernikahan. “Tidak ada (sumbangan). Saya dulu tidak ada yang pakai sumbangan, tidak ada kotak sumbangan,” ungkap Gibran, Sabtu, 10 Desember 2022.
Menurut Gibran, pihak keluarga hanya mengharapkan doa untuk kebaikan kedua mempelai. “Memang dari dulu tidak menerima sumbangan dalam bentuk apa pun. Ya, minta doa saja. Karangan bunga boleh,” kata dia.
Gibran mengungkapkan, larangan sumbangan itu terkait jabatan Joko Widodo sebagai Presiden RI. Selain itu juga sang ayah telah menitipkan pesan agar acara resepsi tersebut digelar tanpa merepotkan tamu undangan.
“Intinya kita tidak mau merepotkan. Tamu undangan bisa rawuh (datang) kita sudah senang,” tuturnya.
Lalu, bagaimanakah Islam menghukumi sumbangan atau amplop kondangan berisi uang dalam sebuah acara resepsi? Apakah uang tersebut semata-mata berstatus sebagai hadiah atau bisa meningkat menjadi utang?
Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini atau yang masyhur dengan nama Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, dalam Kifayatul Akhyar menegaskan bahwa memenuhi undangan pernikahan (walimatul ursy) dihukumi wajib. Dengan syarat, tidak adanya uzur atau hambatan yang berarti.
والوليمة على العرس مستحبة، والإجابة إليها واجبة الا من عذر
“Mengadakan acara resepsi pernikahan hukumnya sunah, sedangkan memenuhi undangan resepsi tersebut adalah wajib hukumnya, kecuali jika ada uzur atau halangan.”
Sementara itu, Syekh Zakaria al-Anshari dalam Fath al-Wahhab menyebut menghadiri resepsi pernikahan hukumnya fardu ain. Sedangkan menghadiri pesta yang lain, misalnya khitanan dan buka bersama hukumnya sunah.
والإجابة لعرس فرض عين ولغيره سنة
“Menghadiri resepsi pernikahan adalah fardu ain, sedangkan menghadiri undangan pesta yang lain adalah sunah.”
Sedangkan hukum mengenai bawaan para tamu berupa amplop berisi uang atau hadia kondangan lainnya, para ulama cenderung berbeda pendapat. Menurut sebagian ulama, uang amplop kondangan bisa berstatus sebagai utang. Namun, sebagian ulama lain memasukannya ke dalam kategori hadiah biasa.
Para ulama berpendapat status uang amplop kondangan bergantung pada kebiasaan masyarakat setempat. Jika dalam kebiasaan masyarakat itu tidak memberlakukan tuntutan untuk mengembalikan dalam kesempatan resepsi di lain waktu, maka sumbangan itu berstatus hanya sebagai hadiah biasa.
Tetapi jika kebiasaan masyarakat setempat ditemukan adanya tuntutan untuk dikembalikan dalam kesempatan walimah lain, maka sumbangan itu berstatus sebagai utang. Pihak tuan rumah wajib mengembalikannya kepada tamu ketika dia bergantian menggelar pesta atau resepsi pernikahan.
Syaikh Abu Bakar Syatha dalam I’anatut Thalibin menjelaskan;
وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ
“Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.”
Dari perbedaan pendapat ini, para ulama mencari titik temu dan menggabungkan keduanya dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.