Ikhbar.com: Bulan Muharam, salah satu dari empat asyhurul hurum (bulan mulia) dalam kalender Islam, kerap dikaitkan dengan tradisi menyantuni anak yatim pada tanggal 10, atau yang populer disebut sebagai “Lebaran Anak Yatim.”
Tradisi ini begitu meluas di Indonesia, hingga tanggal 10 Muharam atau Hari Asyura seolah menjadi hari raya tidak resmi yang didedikasikan untuk membahagiakan anak-anak yang telah kehilangan orang tua.
Baca: Pesan Al-Qur’an tentang Santunan Anak Yatim
Berbasis keutamaan
Meski tidak ditemukan dalil atau hadis sahih yang secara eksplisit memerintahkan santunan kepada anak yatim tepat pada tanggal 10 Muharam, bukan berarti tradisi tersebut tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Dalam salah satu hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah Muhammad Saw menegaskan bahwa hari raya dalam Islam hanya dua, yakni Idulfitri dan Iduladha. Namun, para ulama memandang bahwa menyantuni anak yatim di Hari Asyura tetap termasuk dalam kategori fadhailul a’mal, yakni amalan utama yang dianjurkan dalam Islam.
Para ulama memadukan dua nilai luhur, yakni keutamaan waktu (10 Muharam sebagai Hari Asyura) dan keutamaan perbuatan (menyantuni anak yatim).
Dorongan untuk memuliakan anak yatim sendiri tersebar luas dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad.
قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim akan berada di surga seperti ini.” Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, lalu merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari)
Selain itu, terdapat pula hadis yang secara khusus mengaitkan perbuatan menyantuni anak yatim dengan tanggal 10 Muharam, sebagaimana tercatat dalam Tanbihul Ghafilin karya Syekh Abu Laits As-Samarqandi:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أَعْطَاهُ اللَّهُ تَعَالَى ثَوَابَ عَشْرَةِ آلافِ مَلَكٍ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مِنَ الْمُحَرَّمِ أُعْطِيَ ثَوَابَ عَشْرَةِ آلَافِ حَاجٍّ وَمُعْتَمِرٍ وَعَشْرَةِ آلافِ شَهِيدٍ ، وَمَنْ مَسَحَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِ يَتِيمٍ يَوْمَ عَاشُورَاءَ رَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ دَرَجَةً
“Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharam), maka Allah akan memberinya pahala sepuluh ribu malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah, serta sepuluh ribu syuhada. Dan barangsiapa mengusap kepala anak yatim pada hari Asyura, maka Allah akan mengangkat derajatnya untuk setiap rambut yang disentuhnya.”
Baca: Doa saat Menyantuni Anak Yatim
Telusur dalil
Meskipun dinilai daif (lemah) oleh sebagian ulama, kandungan hadis tersebut tetap dianggap memiliki nilai dan motivasi yang baik, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Hadis lemah memang tidak bisa dijadikan dasar dalam urusan akidah maupun hukum yang bersifat wajib atau haram. Namun, ia tetap dapat digunakan untuk mendorong amalan-amalan utama, asalkan terdapat dukungan dari dalil sahih yang bersifat umum, seperti anjuran menyantuni anak yatim.
Momentum 10 Muharam sendiri memiliki kedudukan yang istimewa dalam sejarah Islam. Asyura dikenang sebagai hari yang sarat dengan peristiwa penting, mulai dari keselamatan Nabi Musa As dari kejaran Firaun, hingga syahidnya cucu Rasulullah Saw, Husain bin Ali, di Karbala.
Dalam bingkai spiritualitas masyarakat, menyantuni anak yatim pada hari tersebut diyakini akan melipatgandakan pahala dan keberkahan, karena adanya pertemuan antara fadhailul a’mal (kemuliaan amal) dan fadhailul ayyam (kemuliaan waktu).
Dari pemahaman ini, praktik menyantuni anak yatim yang semula bersifat individual kemudian berkembang menjadi gerakan sosial yang melibatkan masyarakat secara luas.
Baca: 3 Hadis tentang Keutamaan Bulan Muharam
Hikmah
Tradisi santunan anak yatim pada 10 Muharam mengandung sejumlah pesan penting. Pertama, para ulama menunjukkan kreativitas dalam berdakwah dengan mengubah anjuran keutamaan amal menjadi praktik sosial yang nyata.
Kedua, masyarakat menjadikan “Lebaran Anak Yatim” sebagai pengingat kolektif atas tanggung jawab sosial terhadap anak-anak yang kehilangan orang tua. Kegiatan ini memastikan bahwa mereka tidak merasa sendiri, setidaknya pada hari yang dimuliakan tersebut.
Pada akhirnya, masyarakat tidak seharusnya membatasi perhatian kepada anak yatim hanya pada momen tahunan ini. Hari Asyura semestinya menjadi pengingat untuk terus memelihara semangat kepedulian sepanjang tahun. Menyantuni anak yatim adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama yang rahmatan lil ‘alamin (membawa rahmat bagi semesta).