Ikhbar.com: Ikhtiar pelestarian lingkungan Indonesia dicap paling buruk se-dunia. Bahkan, jika mengacu laporan Environmental Performance Index (EPI) 2022, Indonesia hanya mendapatkan nilai 28,2 dari total 100 poin. Skor tersebut menempatkan Indonesia di peringkat buncit ke-164 dari 180 negara yang diriset.
Apabila di-zoom pada skala regional, posisi Indonesia malah berada di jajaran terendah. Indonesia berada di peringkat ke-22 dari 25 negara Asia Pasifik, atau peringkat ke-8 dari 10 negara di Asia Tenggara.
Masih dalam laporan tersebut, Indonesia juga mendapat nilai rendah untuk semua indikator, dengan rincian skor daya hidup ekosistem sebesar 34,1, skor kesehatan lingkungan (25,3), dan skor kebijakan mitigasi perubahan iklim (23,2).
EPI menyatakan skor rendah memang lazim diterima negara-negara yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dibanding kelestarian lingkungan.
Ambil peran
Ajaran Islam sangat memberikan perhatian khusus terhadap upaya pelestarian lingkungan. Malah, Allah SWT mewanti-wanti agar manusia tidak berlaku rakus dan menimbulkan kerusakan di muka bumi.
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Lebih dari itu, dalam literatur fikih, persoalan isu lingkungan bahkan kerap muncul dan beririsan dengan bidang ekonomi. Dalam bab muamalah, dikenal beberapa jenis transaksi yang bersinggungan langsung dengan alam dan tanaman.
Melalui fikih muamalah, umat Islam dikenalkan dengan akad ihya-ul mawat, musaqah, mukhabarah, dan muzara’ah. Meskipun, fokus bahasan dalam bab kitab-kitab fikih tidak secara spesifik mengkaji masalah isu lingkungan dari sudut pandang hukum Islam, melainkan lebih kepada aspek ekonomi transaksionalnya.
Kajian fikih ihya-ul mawat, misalnya, lebih banyak membicarakan soal hak milik atas tanah yang dikelola. Ihya-ul mawat, yang secara kebahasaan bermakna menghidupkan lahan “mati” (non-produktif), mengindikasikan orang yang pertama kali berinisiatif “membabat alas” untuk menanami tanah kosong tak berpemilik, maka dialah yang berhak atas tanah tersebut.
Geliat kesadaran atas isu lingkungan baru tampak terang pada periode ulama kontemporer. Hal ini ditandai dengan munculnya karya-karya ulama yang fokus membahas persoalan lingkungan. Beberapa di antaranya bahkan menuliskan satu kitab khusus dengan tema fiqhul bi’ah, sebagaimana yang dilakukan Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Al-Husainiy Asy-Syiraziy, dan Fuad Abdul Lathif As-Sarthawiy.
Melalui Ri’ayat Al-Biy-ah fi Syari’atil Islam, Syekh Al-Qardhawi menguraikan secara mendalam berbagai argumen teologis dari sumber-sumber hukum Islam yang secara eksplisit maupun implisit bersinggungan langsung dengan masalah lingkungan. Bahkan, ia menggunakan lima pendekatan bidang keilmuan dalam memahami urgensi konservasi lingkungan, yaitu ushuluddin, tasawuf, fikih, ushul fiqih, serta ulumul Quran dan hadis.
Syekh Al-Qardhawi menyatakan bahwa emeliharaan lingkungan merupakan upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Hal ini sejalan dengan maqasid al-syari’ah (tujuan syariat agama) dalam kulliyat al-khams, yakni, hifzul nafs (melindungi jiwa), hifzul aql (melindungi akal), hifzul mal (melindungi harta), hifzul nasb (melindungi keturunan), hifzul din (melindungi agama).
Menjaga kelestarian lingkungan hidup, lanjut Al-Qardhawi, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syari’at tersebut. Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengerusakan lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab, dan agama.
Syekh Qardhawi menjelmakan prinsip tersebut menjadi semangat hifzul bi’ah (menjaga lingkungan). Fikih lingkungan memandang hubungan manusia dengan alam sekitar sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia mempunyai kewajiban untuk ambil peran dalam kewajiban penjagaan lingkungan hidup.
Hidroponik sebagai Jalan
Hal itulah yang lantas mendorong pemuda asal Provinsi Lampung, Setiaji Bintang Pamungkas, untuk getol mengampanyekan tren hidroponik. Hidroponik merupakan salah satu metode budi daya tanaman tanpa menggunakan media tanah dengan lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan hara nutrisi. Kebutuhan air pada hidroponik lebih sedikit ketimbang menanam langsung di atas permukaan tanah.
Mulanya, Aji, sapaan karib Setiaji, hanya memanfaatkan lahan seluas 4×7 meter yang tersedia di atap rumah (rooftop). Pada 2019 itu, Aji memulai ikhtiarnya dengan membuat lima instalasi dengan kapasitas 900 lubang. Untuk tahap pertama, dia menanami media tersebut dengan tanaman jenis pakcoy, kailian, selada, dan caisin.
“Ada banyak manfaat dari teknik hidroponik ini, terutama dampaknya terhadap lingkungan. Hitung-hitung ini sebagai ambil peran saya dalam upaya hifzul bi’ah,” kata Aji, Selasa, 17 Januari 2023.
Aji menjelaskan, melalui metode tanam hidroponik, penggunaan air bisa lebih dihemat. Sehingga, penggunaan air dalam produksi bahan pangan manusia optimistis tidak lagi dilakukan secara berlebihan.
“Selain itu, sistem hidroponik menggunakan cairan yang berisi nutrisi, sehingga mengurangi penggunaan pupuk kimia yang biasa digunakan untuk menanam tanaman apabila menggunakan tanah. Hal itu tentu dapat sedikit mengurangi kerusakan ekosistem tanah,” jelas dia.
Di sisi lain, lanjut Aji, banyak penelitian menunjukkan bahwa teknik hidroponik mampu meningkatkan kadar oksigen hingga mengurangi polusi udara.
“Dalam pemupukan atau pembasmian hama, pada sistem hidroponik tidak menggunakan bahan kimia sehingga manfaat tanaman hidroponik bagi lingkungan juga dapat meningkatkan kadar oksigen (O2), berdampak pula pada udara yang semakin bersih dan sejuk serta dapat mengurangi polusi udara,” katanya.
Untung dan berkah
Ikhtiar Aji dan istrinya, Inggrid Putri, pada akhirnya menuai berkah. Dari usaha yang mereka namai Ingreen Hidroponik itu, setiap bulannya mampu meraih keuntungan hingga jutaan rupiah.
Aji menceritakan, pada awal usahanya, mereka sempat mengalami kesulitan menjual hasil panennya yang cukup baik secara fisik. Seiring berjalan waktu, Aji mulai menggunakan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, bahkan blog untuk memasarkan produk pertanian dari kebun mungilnya itu.
“Ternyata permintaan meningkat, jadi harus tanam jenis sayur lainnya seperti kailan, caisin, selada, pagoda, hingga kale,” ungkap Aji.
Di tahun pertama dilaunching, Ingreen bahkan langsung dikenal masyarakat Bandar Lampung. Lebih kerennya lagi, salah satu supermarket sempat menawarkan Ingreen untuk bekerja sama dengan sistem konsinyasi.
“Tetapi kami coba bertahan untuk lebih melayani konsumen loyal, yakni para ibu muda, ibu hamil dan menyusui, vegetarian, hingga anak-anak berkebutuhan khusus,” katanya.
Meski sudah banyak memiliki pelanggan, Aji bertekad untuk membanderol sayur yang dihasilkannya dengan harga terjangkau. Keumuman ia hargai seiket sayuran hidroponik seberat 200 gram sebesar Rp8 ribu rupiah.
“Ini komitmen kita. Kami juga berniat untuk terus beristikamah dalam menjaga kualitas sayur yang dijual Ingreen Hidroponik. Jadi, tidak hanya segar, sehat, renyah, higienis, tapi juga dijamin terhindar dari racun pestisida,” ujarnya.
Sayur hidroponik yang diproduksi Aji dan istri dapat ditemukan di sejumlah supermarket di Bandar Lampung. Aji juga menerima pemesanan secara daring melalui akun resmi Instagram @ingreen.hidroponik.