Oleh: Muhammad Qomaruddin (Pendidik di MTsN 1 Kota Cirebon, Jawa Barat)
“AKU bermedsos, maka aku ada,” seperti itu bunyi kalimat simpel nan menarik, yang ditemukan dalam buku Radikalisme di Media Sosial (2023), karya kiai muda yang juga Staf Khusus Menteri Agama (Menag) RI, Dr. H M. Nuruzzaman, S.Ag., M.Si.
Sudah barang tentu, slogan yang barangkali terinspirasi dari ucapan filsuf Perancis, Descartes, “Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada,” itu mengandung makna yang mendalam. Setidaknya, frasa itu bisa menjadi analogi bagi kondisi netizen Indonesia saat ini. Yakni, semakin aktif bermedia sosial (medsos), maka keberadaan seseorang akan bisa lebih dianggap orang lain. Dibutuhkan penetrasi yang cukup tinggi untuk terus eksis di dunia maya.
Pendiri Alvara Research Center, Hasanuddin Ali, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kegandrungan bermedsos tersebut sudah termasuk dalam kategori addicted user (pengguna maniak) dengan durasi akses lebih dari 7 jam/hari. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pelanggan telepon seluler di Indonesia sebesar 131,66% per 100 penduduk. Artinya, satu orang bisa memiliki lebih dari satu nomor atau perangkat kontak. Sementara menurut Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII), dalam rentang tahun 2019—2020, jumlah warga Indonesia yang sudah melek internet mencapai 196,7 juta atau 73,7%. Singkatnya, angka-angka tersebut menunjukkan betapa masifnya eksistensi di dunia maya bagi masyarakat Indonesia, terutama di kalangan milenial dan generasi z.
Sekilas, fenomena ini menjadi poin plus bagi bangsa ini. Masyarakat global pun telah mengerti betul bagaimana potensi keuntungan besar yang diperoleh dari banyaknya jumlah warganet Indonesia. Kian maraknya para pemengaruh ataupun organisasi (seperti klub bola, asosiasi pergerakan, dll) menjadikannya sebagai pasar marketing terbaik. Sebagai contoh terbaru, kedatangan pelantun lagu “Not you“, Alan Walker (produser musik dan DJ asal Norwegia) ke SMA Al Azhar Medan, lantaran video viral guru musik mereka yang memainkan lagunya saat pembelajaran di kelas. Hal ini merupakan salah satu dampak positif dari besarnya dominasi media sosial.
Akan tetapi, kegalakan netizen Indonesia pun tak kalah terkenal seantero jagat. Komentar pedas dan kata-kata kasar tidak ragu-ragu disematkan kepada pihak-pihak yang dinilai tidak sejalan. Kendala bahasa tidak menurunkan motivasi mereka untuk terus menyerang (kebanyakan bahkan nekat menggunakan translator di mesin pencarian). Parahnya, untuk beberapa kasus yang seharusnya hanya melibatkan beberapa orang, acapkali dicampuri bila sudah diangkat ke media sosial. Justifikasi, intimidasi, penggiringan opini, hingga restorasi dan resolusi konflik, semua “terselesaikan” jika bersinggungan dengan jempol-jempol masyarakat Indonesia.
Mekanisme pertahanan
Seorang psikolog Austria, Sigmund Freud menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh ingatan, pikiran, dan dorongan yang tidak disadari. Hal ini merupakan bawaan lahiriah (nativisme) dan hasil adaptasi dengan lingkungan (empiris). Beberapa faktor yang mempengaruhi berasal dari jiwa manusia itu sendiri. Dia menyebutnya dengan istilah id, ego, dan super-ego.
Id adalah sumber dorongan tak sadar dan terdasar manusia yang berfungsi sebagai energi libidinal. Sementara Ego merupakan sisi moralitas, membantu untuk memenuhi tuntutan libidonya, melandaikan mimpi tinggi dengan realitas yang ada. Adapun Super-ego bagian dari kepribadian yang menampung semua moral dan standar internal yang kita peroleh dari orang tua, keluarga, serta lingkungan sekitar. Tiga hal itu menjadi fondasi terbentuknya karakter dan sikap. Maka, Freud mencanangkan konsep ‘mekanisme pertahanan’ untuk menyeimbangkan dominasi salah satu di antaranya.
Misalnya, ketika seseorang tampak tidak mau menghadapi kenyataan yang menyakitkan, seseorang yang lain mungkin akan menuduhnya “menyangkal.” Jika mereka mencoba mencari penjelasan logis atas perilaku yang tidak dapat diterima, orang mungkin berpendapat bahwa mereka sedang “merasionalisasi.” Contoh gampangnya, rasionalisasi untuk merokok mungkin mencakup “satu batang tidak akan menyakiti saya” atau “jika saya berhenti, berat badan saya akan bertambah.” Penolakan dan rasionalisasi mewakili berbagai jenis mekanisme pertahanan, atau taktik yang digunakan ego untuk melindungi dirinya dari kecemasan. Beberapa mekanisme pertahanan yang paling terkenal mencakup penolakan, represi, dan regresi.
Semua hal itu berkolerasi dengan fenomena tingginya eksistensi (sifat untuk dianggap ada) netizen di Indonesia. Ketidakseimbangan tiga unsur jiwa memicu bar-barnya perilaku mereka di media sosial. Tak jarang, mereka enggan memikirkan sebab akibatnya ke depan. Citra buruk, pemblokiran akses, hingga boikot dunia digital bisa saja terjadi. Alhasil, masa besar potensial akan berubah menjadi momok menakutkan yang siap menghancurkan eksistensi bangsa kita sendiri.
Baca: Perlawanan Rasulullah terhadap Rasisme
Solusi moderasi
Moderasi bukan hanya paham yang bisa dikaitkan dengan agama. Pemahaman tentang ini harus dimiliki tiap-tiap pengguna media sosial. Kegemaran yang berafiliasi dengan nasionalisme garis keras melahirkan sifat ingin diakui, meski harus melakukan hal negatif. Sekali lagi, semuanya karena eksistensi berlebih. Sebuah rasa ingin dipandang khalayak bahwa Indonesia memiliki “jempol-jempol sakti” yang dapat mengubah situasi.
Warganet Indonesia perlu memahami, menghayati, lalu menanamkan sikap moderasi di tengah keberagaman masyarakat global. Sikap tasamuh (moderat) akan menjadi katalisator bagi kuatnya gemuruh pengakuan pengguna media sosial. Empat pilar moderasi, yaitu toleransi, antikekerasan, penerimaan terhadap tradisi, dan komitmen kebangsaan, diyakini akan mampu mengendalikan laju dari barbarnya sikap bermedsos sebagian pengguna internet di Indonesia.
Toleransi yang khas akan pemakluman suatu perbedaan, bisa mengikis gesekan-gesekan provokasi atas perbedaan. Prinsip anti kekerasan sebagai barometer berlebihan atau tidaknya sikap dalam bermedsos. Sementara penerimaan terhadap tradisi melahirkan sikap saling menghargai terhadap kekhasan perilaku orang lain. Lalu, kunci utamanya adalah komitmen kebangsaan, sebuah prinsip mengusung tinggi nasionalisme tanpa harus menjatuhkan harga diri bangsa dan negara.
Penguatan moderasi sebagai obat bagi radikalisme di media sosial juga ditunjang oleh empat nilai yang harus dijadikan pedoman, yakni kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil dan berimbang, serta taat konsitusi. Poin-poin ini akan mereduksi sematan “Netizen galak” bagi masyarakat Indonesia.
Paham moderasi akan mendewasakan sikap di dunia digital, terutama kalangan gen z yang masih mencari jati diri dan sangat ingin diakui. Di sinilah peran pendidikan, baik lingkungan sekolah maupun keluarga, dalam penanaman ideologi Pancasila yang memang sudah moderat sejak awal penyusunannya.
Kritis, pantang menyerah menyuarakan perdamaian, nasionalisme tinggi, serta kompak menggerakkan jemari demi tercipta keadilan. Sikap ini akan muncul dalam diri masyarakat Indonesia bila menerapkan prinsip moderat dalam bermedsos. Eksistensi netizen bangsa ini tidak akan luntur, malah akan semakin besar dan berwibawa sebagai kontrol sosial yang diperhitungkan hingga secara global.
Maka, majulah warganet Indonesia yang moderat. Sebuah kekuatan besar yang sejatinya memiliki kecenderungan kuat sebagai penyampai kebaikan dan penebar perdamaian dunia.[]