Ikhbar.com: Internet dan media sosial kian menjadi saluran pokok masyarakat Indonesia. Bahkan, sebuah riset menyebut, rata-rata pengguna di Tanah Air menghabiskan waktu nyaris sembilan jam sehari untuk berselancar di dunia maya.
Demikian disampaikan penulis Radikalisme di Media Sosial (2023), Dr. KH M. Nuruzzaman, dalam bedah buku yang digelar bersama Forum Guru PNS 2019 Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Jawa Barat, di STAI DR. KH EZ. Muttaqien, Purwakarta, pada Sabtu, 28 Oktober 2023 lalu.
Internet dan media sosial sebagai dunia maya memungkinkan pengguna menyembunyikan identitas atau menyamarkan aktivitasnya. Oleh karena itu, penetrasi di platform tersebut juga berpotensi melahirkan berbagai tindakan merugikan yang sulit dilacak atau dikontrol otoritas negara. Termasuk berkembangnya produksi wacana radikalisme fundamentalisme yang memanfaatkan keterbukaan internet dan media sosial untuk mengukuhkan posisinya dalam ruang publik.
Menurut sosok yang juga Staf Khusus (Stafsus) Menteri Agama (Menag) tersebut, penggunaan yang masif terhadap media sosial itu memiliki implikasi terhadap persebaran paham radikalisme. Di sisi yang sama, jejaring media sosial juga menjadi saluran strategis dalam menangkal paparan radikalisme-fundamentalisme, serta menguatkan semangat moderatisme keberagamaan di jagat maya.
“Moderasi beragama menjadi salah satu rumus penting dalam penangkalan radikalisme. Moderasi beragama memiliki empat indikator. Pertama, beragama dengan tetap berkomitmen terhadap konsep kebangsaan, kedua, beragama anti-kekerasan, ketiga, beragama secara toleran, dan yang terakhir, beragama dengan menghargai budaya dan tradisi lokal,” ungkapnya.
Upaya-upaya penangkalan paham radikalisme itu melahirkan kajian tersendiri baik pada tataran pemikiran dan wacana, maupun pada tataran organisasi dan kegiatannya.
“Tujuannya adalah mengungkap bagaimana proses radikalisasi berlangsung melalui internet dan media sosial, yang dalam hal ini secara khusus ditinjau dari pengguna X (sebelumnya Twitter),” kata Kiai Nuruzzaman.
Baca: Matinya Kepakaran, Tantangan Baru Pemberantasan Hoaks di Indonesia
Sementara itu, guru MAN 5 Garut, Muhammad Nasif Abdurrahman, selaku salah satu pembedah dalam kegiatan tersebut mengatakan data-data dalam buku yang baru dirilis pada Agustus kemarin itu sangat penting diketahui dan dipelajari khalayak luas.
“Buku ini mampu menyajikan data-data yang bisa dipertanggung-jawabkan dan mengungkap fenomena-fenomena sosial kekinian atau istilah fikihnya adalah Waqi’iyyah. Sehingga menjadikan buku ini buku yang ilmiah dan faktual,” katanya.
Sedangkan ketua panitia, Muhammad Qomaruddin, yang juga merupakan guru di MTsN 1 Purwakarta mengatakan, kegiatan itu bertujuan memberikan edukasi bagi para guru agar bisa menggunakan media sosial secara bijak dan sehat.
“Alhamdulillah kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 80 peserta yang merupakan guru-guru se-Jawa Barat. Mereka adalah peserta yang datang secara langsung. Sementara yang menyimak lewat daring mencapai hampir 100 peserta,” katanya.
Baca: Bolehkah Mengucap dan Menjawab Salam kepada Nonmuslim?
Selain pemaparan penulis, kegiatan juga dibuka oleh penyampaian apresiasi dari Kasubdit Bina GTK Ditjen Pendis Kemenag, H. Dr. Ainurrofiq. Dia menyampaikan penjelasan demi penjelasan yang yang termuat dalam buku itu sangat penting disebarkan ke masyarakat luas.