Oleh: Dr. Rihab Said Aqil (Founder Griya Jiva Pranacitra, Jakarta)
GENOSIDA dan penindasan yang dilakukan militer Israel terhadap warga Gaza, Palestina dinilai sangat menyayat hati hingga mampu memancing kemarahan, bahkan kutukan, global. Meski banyak yang menyebutnya segagai peristiwa politis dengan agenda-agenda tertentu, tetapi konflik tak berkesudahan itu telah melahirkan dinamika psikologis bagi tiga pihak sekaligus, yakni Pemerintah Israel, rakyat sipil Gaza, dan masyarakat global pro-Palestina.
Baca: Pengaruh Iman dan Moral terhadap Kesehatan Mental
Superioritas kompleks Israel
Apa yang dilakukan Israel terhadap warga Gaza menunjukkan fenomena superioritas kompleks. Fenomena ini pertama kali dikenalkan Adler Alfred, seorang psikiater beraliran humanis. Menurut Alfred, pada dasarnya manusia terlahir inferior (fisik/psikis). Dan oleh karena itu, manusia terus berjuang untuk mengatasi kondisi atau perasaan inferioritas menuju superioritas.
Rasa inferior pada umumnya diatasi dengan melakukan bentuk-bentuk coping atau penanggulangan beban, baik secara sehat maupun tidak sehat yang itu bergantung dari cara seseorang dalam memaknai diri dan peristiwa yang tengah dihadapinya. Coping yang sehat bisa dilakukan jika sesorang mampu melakukan kompensasi yang membawanya pada penyelesaian masalah dengan efektif, kemampuan pengembangan diri, dan penemuan makna.
Namun, hal itu bisa menjadi patologis ketika rasa inferior tersebut diatasi dengan cara ‘over‘ kompensasi atau secara ekstrem hingga terjadi perubahan yang membuatnya semakin kompleks. Kompleksitas di sini bisa mencakup dua hal, yaitu inferioriotas kompleks dan superioritas kompleks.
Tindakan militer Israel terhadap warga Gaza adalah bentuk dari superioritas kompleks. Hal itu berasal dari cara perceiving atau memaknai perisitwa yang dialaminya sebagai ancaman yang menyerang harga diri negara tersebut. Superioritas kompleks terjadi ketika suatu individu atau komunitas memiliki rasa insecure, tetapi berupaya keras untuk memperlihatkan pada dunia bahwa mereka lebih unggul dan powerful dengan melakukan balas dendam secara brutal dan agresif. Mereka bahkan terkesan tidak menghiraukan sama sekali terhadap resolusi PBB maupun banyaknya seruan damai yang disuarakan dunia global.
Pola sebuah pemerintahan yang demikian menunjukan pola “ruling type” dengan perilaku yang agresif, arogan, dominan dan bermusuhan, mudah tersinggung, antikritik, dan tidak dapat dikendalikan oleh pihak mana pun.
Baca: Kisah Pilu Ibu-ibu Palestina Jaga Kesehatan Mental Anak Mereka di Gaza
Teladan mental resilient
Sebaliknya, pihak Gaza seakan kian membuat dunia terkagum-kagum ketika menyaksikan ketegaran mereka dalam menghadapi agresi militer Israel. Mental yang ditunjukkan warga Gaza ini bukan sekadar sehat, tetapi resilient (tangguh). Warga Gaza telah membuka mata dan intelektualitas semua orang mengenai apa yang disebut dengan mental resilient secara konkret. Kekuatan itu bersumber dari collective values yang mereka miliki, yaitu keimanan kepada Allah swt. dan kecintaan terhadap tanah air.
Warga Gaza juga tak jarang mengundang simpati warga dunia ketika menyaksikan reaksi mereka yang terus berzikir dan menyebut nama Allah swt. di saat menghadapi kenyataan bahwa rumah yang mereka tinggali telah hancur maupun anggota keluarga tewas akibat dibombardir serangan udara Israel. Meski sebenarnya, mental resilient bukan berarti harus tegar secara total tanpa tangisan. Sebab, menurut sabda Nabi Muhammad saw., tangisan ialah tanda (seseorang memiliki) rahmat.
Sudah sepatutnya apa yang dialami dan dilakukan warga Gaza menjadi ibrah bagi semua orang. Psikologis warga Gaza mengajarkan siapapun agar tidak mudah menyerah dan gampang diteror oleh rasa takut saat berada pada masa-masa sulit atau krisis di dalam kehidupan.
Jika tidak mengambil pelajaran tersebut, gejolak psikologis yang muncul secara masif dari masyarakat global pro-Palestina dengan hanya bermodal update perkembangan informasi lewat media sosial justru akan melahirkan “distress empathic,” yaitu sebuah kondisi ketika seseorang merasakan penderitaan dan kesedihan orang lain secara akut, tetapi dia tidak dapat melakukan atau membantu dalam bentuk apapun sehingga berempati dengan emosi yang intense yang dapat membuat kita kewalahan. Kondisi seperti ini pada akhirnya malah mengakibatkan munculnya ragam reaksi, mulai dari menarik diri atau tidak mau mengikuti perkembangan lebih lanjut, kondisi fisik yang memburuk (seperti terkena maag, sesak dll), stres, dan burnout akibat terus-menerus mengikuti berita, atau bahkan hingga tindakan agresif.
Baca: Kritik untuk Shakespeare dari Anak-anak Korban Teror Bom Israel di Gaza
Keadaan ini perlu diwaspadai bersama dengan cara self-control (menahan diri) dan self-care (menjaga mental), salah satunya dengan menunjukkan kepedulian atau empati secara lebih sehat. Misalnya, dengan cara menyalurkan bantuan sesuai kemampuan lewat penggalangan donasi, menyuarakan pendapat secara bijak, dan mendorong pihak-pihak berwenang, termasuk mengikuti aksi demonstrasi damai untuk mengambil peran dalam upaya menghentikan agresi Israel terhadap warga Gaza.
Terakhir dan yang tak kalah penting adalah mendoakan warga Gaza sembari terus melakukan kontemplasi diri agar bisa tetap bersyukur dan meningkatkan ketangguhan mental.[]