Oleh: Sofhal Adnan (Pemimpin Redaksi Ikhbar.com)
IBADAH haji memiliki manfaat spiritual yang dalam. Tidak hanya itu, keberkahannya pun meliber hingga ke aspek ekonomi dan sosial.
Dalam QS. Al-Hajj: 28, Allah Swt berfirman:
لِّيَشْهَدُوا مَنَٰفِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا ٱسْمَ ٱللَّهِ فِى أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ ٱلْأَنْعَٰمِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا ٱلْبَائِسَ ٱلْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Ayat ini memang tidak secara eksplisit menyebutkan ibadah haji. Namun, pernyataan terang tentang keterkaitannya dengan rukun Islam kelima itu ditemukan pada ayat sebelumnya, dan muncul pada keterangan sesudahnya.
Dalam rangkaian QS. Al-Hajj, perintah berhaji terdapat pada ayat 27 dengan salah satu rukun berula tawaf yang dijelaskan pada ayat 29. Sedang dalam ayat 28 ini, Allah menjelaskan sejumlah manfaat haji bagi yang melaksanakan ibadah mulia tersebut.
Sayyid Qutub dalam Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an menjelaskan, QS. Al-Hajj: 28 ini menguraikan bahwa haji merupakan ibadah fardu dunia dan akhirat, sebagaimana bertemunya akidah Nabi Ibrahim As (akidah lama) dengan akidah Nabi Muhammad Saw (akidah baru).
Dalam keterangannya itu, ia menyebut bahwa haji juga merupakan momentum bersama yang mempunyai banyak manfaat dan mengikat persatuan umat. Menurutnya, selain sebagai musim ibadah, haji juga merupakan musim muktamar dan musim perdagangan.
Pakar tarsir Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga menegaskan hal serupa. Ia berpendapat bahwa manfaat ibadah haji yang tidak hanya pada satu aspek, melainkan mengandung dua manfaat sekaligus, yakni duniawi dan juga ukhrawi.
Baca: Memaknai Haji ala Sufi
Manfaat duniawi meliputi banyak hal, misalnya, sisi ekonomi dan sosial. Meski demikian, Prof. Quraish menyebut bahwa tujuan haji tetaplah satu, yaitu untuk kemaslahatan bersama.
Terdapat segelintir pendapat yang mengatakan bahwa haji merupakan murni ibadah dan tidak bisa dicampur dengan kegiatan duniawi lain seperti jual beli atau yang lainnya. Namun, menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar-nya menganggap pendapat ini lemah.
Pendapat Buya Hamka ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Muhammad Saw tetap menganggap sah haji seseorang setelah seluruh rangkaian tata cara dan rukun terpenuhi, meskipun setelah itu mereka melakukan jual beli.
Senada dengan Buya Hamka, Prof. Quraish menekankan bahwa selama kegiatan duniawi lain tidak merusak tujuan ibadah haji, maka hal itu tidak masalah.
Menurutnya, jemaah haji saat ini tidak bisa lepas dengan aktivitas jual beli. Sebab mereka datang dari luar Kota Makkah memerlukan perlengkapan yang sebagian besar hanya bisa didapat lewat jual beli.
Ulama jebolan Universitas Al-Azhar itu berpendapat bahwa seseorang yang telah selesai berhaji juga diperbolehkan membeli oleh-oleh untuk sanak keluarganya di rumah.
Dari penjelasan tersebut, sudah cukup menjadi acuan soal diperbolehkannya melakukan aktivitas duniawi selama berhaji. Meskipun memang tetap memprioritaskan serangkaian ritual haji.
Dengan demikian, nilai-nilai dari ibadah haji secara sosial bisa dilihat dari amaliyah ihram, wukuf, dan kurban. Penggunaan pakaian ihram, misalnya, Ibnu Mas’ud dalam Fikih Mazhab Syafi’i menjelaskan, sebagai pendidikan bagi manusia bahwa di hadapan-Nya semuanya akan berlaku setara. Manusia tidak dibeda-bedakan berdasarkan status kaya dan miskin, atau apapun, sehingga timbulah rasa persaudaraan antarmanusia.
Nilai sosial lainnya terdapat pada pelaksanaan wukuf. Ketika wukuf, jemaah haji dari belahan dunia berkumpul dalam satu tempat untuk merenung kepada satu Tuhan yang sama.
Peristiwa tersebut dinilai Banani Adam dan Mustafa dalam Hikmah Rahasia Ibadah Haji dan Umrah (1992) sebagai persatuan umat, ukhuwah Islamiyah, atau kongres umat Islam sedunia sebagaimana pula yang diucapkan di awal oleh Sayyid Qutub sebagai muktamar.
Aspek sosial ketiga dalam ibadah haji adalah ketika penyembelihan kurban. Menurut Hasan Basri dalam Haji dan Kurban (1983) dalam praktiknya, penyembelihan kurban saat haji dinilai sebagai bentuk ijtima’iyah (sosiologis kemasyarakatan).
Ia berpendapat bahwa dalam penyembelihan hewan kurban, daging-daging tersebut kemudian diserahkan untuk menyantuni dan menggembirakan fakir miskin atau mereka yang berkekurangan. Wallahua’lam.