Bulan-bulan ‘-ber’

Setiap September adalah tanda keberangkatan masa, dan Desember ialah salam penutup yang tak pernah benar-benar berpisah.
Ilustrasi. Olah Digital oleh IKHBAR

ADA sesuatu yang lembut sekaligus ganjil pada empat bulan terakhir dalam kalender Masehi. September, Oktober, November, dan Desember, kata-kata yang berbaris rapi, semacam bisikan panjang waktu yang terus menua.

Semuanya lahir dari angka-angka Latin yang keras. Septem berarti tujuh, octo; delapan, novem; sembilan, dan decem; sepuluh. Di dalamnya tersimpan logika kuno, sistem hitung yang dingin, warisan peradaban yang menulis waktu sebagai barisan kalkulasi. Namun, entah bagaimana, di ujungnya bunyi “-ber” datang memeluk. Fonem lembut itu mengubah bilangan menjadi musim batin, seolah di setiap pengujung tahun manusia mendengar gema samar, bahwa sesuatu yang akan selesai adalah dia yang akan kembali dimulai.

Mungkin di sanalah pertarungan itu berlangsung. Yakni, perdebatan antara angka dan makna, antara yang diukur dan yang dihayati.

Di satu sisi, waktu adalah kalender, produk administrasi duniawi. Di sudut lain, waktu ialah kesadaran, pergerakan jiwa menuju kefanaan.

Baca: Awal adalah Akhir

Bulan-bulan “-ber” berdiri di antara keduanya, menjadi jembatan antara logika Romawi dan keheningan Islam, antara hitungan dan penghayatan. Ia tidak lagi sekadar menandai urutan, tetapi juga perjalanan yang bergerak dari terang menuju teduh, dari hiruk menuju doa.

Dalam filsafat sufistik, ada istilah inqitha’ alias pemutusan. Setiap “-ber” terdengar seperti tanda jeda, seakan waktu menarik napas dan berhenti sekejap. Ia mengandung aroma penghabisan, seperti daun yang lepas dari tangkainya.

Di sinilah manusia mulai menengok kembali lintasan dirinya, tahun yang berjalan seperti kafilah, meninggalkan jejak di padang yang mulai senyap. Dalam setiap inqitha’, ada rasa muhasabah yang mengeram. Ialah sebuah kesadaran bahwa hidup hanyalah serangkaian kehilangan kecil yang perlahan menyiapkan manusia untuk mengalami babak sirna paling akhir.

Akan tetapi, pemutusan dalam pandangan Islam tak pernah bersifat final. Di balik inqitha’ selalu tersembunyi ittisal, keterhubungan. Pemutusan hanyalah sisi lain dari penyambungan, seperti malam yang tak dapat lepas dari fajar yang menanti.

Maka, akhir tahun bukan jurang, melainkan jembatan niat. Ia menunggu untuk diseberangi dengan harapan baru, sebagaimana roh menyambung kehidupan lain setelah kematian. Dalam logika yang lembut itu, “-ber” menjadi tanda koma yang menahan waktu agar manusia belajar bernapas lebih dalam.

Tak cukup di situ. Muncullah sukun, ketenangan batin. Di huruf penutup “-ber” tersimpan kesenyapan yang mirip titik di akhir kalimat. Tak ada letupan, tak ada sorak, hanya hening yang mengendap.

Dalam sufisme, sukun adalah saat ketika jiwa berhenti mengejar dan mulai mendengarkan. Mungkin karena itu bulan-bulan “-ber” terasa teduh, seolah waktu sendiri sedang beristirahat. Pasar dunia melambat, angin menjadi dingin, dan manusia—sadar atau tidak—mulai menenangkan langkahnya.

Ketenangan itu mengandung makna. Ia menyerupai tazkiyatun nafs, proses penyucian diri. Setelah sepanjang tahun dipacu oleh ambisi dan deru pencapaian, di penghujung tahun manusia belajar duduk dalam penantian. Di sana, diam bukan kekosongan, melainkan ruang untuk membersihkan cermin hati.

Sukun menandai bahwa pencapaian sejati bukanlah gerak, melainkan henti yang sadar. Seperti laut yang tampak tenang di permukaan, tetapi menyimpan kedalaman yang tak terukur.

Setelah sukun, datang ghurub (terbenam). Matahari turun perlahan di ufuk barat, menyentuh garis laut dengan warna yang meluruh. Dalam tradisi Islam, ghurub adalah waktu yang suci. Pada saat itulah doa magrib bergema, tanda bahwa terang telah menyerah tanpa kehilangan harapan. Ia menyerahkan dirinya kepada malam, sebagaimana manusia menyerahkan hasil dari segala ikhtiarnya kepada takdir.

Ada keindahan yang halus dalam penyerahan itu, semacam taslim: kepasrahan yang tenang, bukan keputusasaan yang getir.

Baca: Labbaik!

Bulan-bulan “-ber” adalah ghurub bagi tahun. Ia mengajarkan bahwa setiap terbenam bukan berarti lenyap, melainkan berubah bentuk. Cahaya berpindah menjadi bayangan, lalu menjelma malam, kemudian mewujud janji fajar.

Dalam kesadaran itu, waktu tak lagi tampak sebagai garis lurus menuju habis, melainkan lingkaran yang terus memperbarui diri. Manusia tidak meninggalkan tahun; ia hanya berpindah sisi dari perjalanan yang sama.

Mungkin karena itu, bunyi “-ber” terdengar seperti doa yang tak selesai. Ia membawa kehangatan akhir sekaligus janji awal. Di dalamnya, angka-angka Latin kehilangan kekakuannya; mereka melebur dalam keheningan yang lembut, menjadi bagian dari irama spiritual yang lebih tua dari peradaban mana pun.

Setiap September adalah tanda keberangkatan masa, dan Desember ialah salam penutup yang tak pernah benar-benar berpisah.

Dalam kesenyapan antara angka dan makna itu, manusia belajar sesuatu yang halus: waktu adalah pengalaman, bukan milik. Ia tak dapat digenggam, hanya dilewati. Dan di setiap inqitha’, setiap sukun, setiap ghurub, selalu ada ittisal yang menyala diam-diam, sambungan rahasia antara yang fana dan yang kekal.

Pada akhirnya, bulan-bulan “-ber” hanyalah cermin kecil dari keberadaan itu sendiri: berawal dari hitungan, berakhir dalam makna. Mungkin waktu tidak benar-benar berjalan; ia hanya bernapas, berhenti sejenak di setiap akhiran yang sunyi, agar manusia mengerti: akhir hanyalah cara Tuhan mengucapkan awal.[]

 

Filosobih merupakan rubrik yang menyajikan pandangan pribadi Founder/CEO Ikhbar.com, KH Sobih Adnan tentang kehidupan, eksistensi diri, maupun hubungan manusia dengan Tuhan melalui kacamata tasawuf dan filsafat. Artikel ini ditulis secara reflektif dan bersifat personal sehingga seluruh muatan dan isinya secara penuh menjadi tanggung jawab penulis.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.