Assalamualaikum. Wr. Wb.
Ning Uswah dan tim redaksi Ikhbar.com yang baik. Saya Rabiah Adawiyah, dari Jakarta Selatan.
Izin bertanya. Bukan bermaksud memebnarkan tindakan pelaku, tetapi berkaca dari peristiwa tragis seorang polwan, Briptu Fadhilatun Nikmah (28) yang nekat membakar suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono (27) di Mojokerto, Jawa Timur, baru-baru ini hingga meninggal, yang konon dilatar belakangi cekcok gara-gara uang sang suami selalu habis untuk judi online (judol). Sebenarnya, sejauh apa sih Islam, terutama dari sudut pandang fikih menyarankan sistem keuangan rumah tangga bagi pasangan suami-istri? Kemudian, apakah Islam lebih menyepakati sistem keuangan yang terpisah, sehingga ada uang dengan status milik laki-laki dan uang milik istri, atau lebih baik digabung? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Baca: Judi Online, Mahakarya Setan dengan Peminat Terbanyak dari Indonesia
Jawaban:
Waalaikumsalam. Wr. Wb.
Kak Rabiah Adawiyah di Jakarta Selatan, terima kasih atas perhatiannya.
Kewajiban dan hak antara suami dan istri sejatinya telah diatur di dalam Al-Qur’an. Di antara kewajiban suami adalah:
- Memperlakukan istri dengan cara bermartabat (QS. An-Nisa’: 19)
- Menjaga, mengayomi, dan melindungi istri (QS. An-Nisa’: 34)
- Memberikan nafkah materi secara layak dan pantas (QS. Al-Baqarah: 233)
- Memberikan nafkah biologis dengan cara yang patut (QS. Al-Baqarah: 222)
Menurut syariat Islam, sistem keuangan antara suami dan istri ditekankan untuk dimanajemen secara terpisah. Sebagian harta suami mesti dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sang istri. Hal itu, persis sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 34, Allah Swt berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…”
Juga dalam QS. Al-Baqarah: 233, Allah Swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ
“… Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”
Berbeda dengan pihak istri. Harta dengan status kepemilikan istri menjadi miliknya sendiri. Hal ini dijamin dalam hukum Islam tentang hak perempuan atas kepemilikan harta.
Baca: Uang Suami dan Duit Istri? Begini Manajemen Keuangan Rumah Tangga menurut Fikih
Merujuk kewajiban memberikan nafkah bagi suami kepada istri, Syekh Syamsuddin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaj menjelaskan, suami tidak berhak terhadap harta istri, tidak boleh menggunakan atau menyembunyikan harta milik istri tanpa izin, bahkan, justru seorang suami wajib menafkahi istri sekali pun sang istri memiliki harta yang berlimpah.
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyati dalam I’anah at-Thalibin juga menyatakan bahwa suami tidak berhak mengeluarkan harta istri tanpa izin. Jika pun sang istri mengizinkan, maka pengeluaran harta tersebut harus sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Apabila pengeluaran tersebut ternyata tidak sesuai dengan kemauan istri, maka suami wajib menggantinya.
Namun, dalam relasi suami-istri, tidak hanya melulu urusan hak dan kewajiban yang harus dijalankan dan diterima secara berimbang. Harus ada sifat komplementer atau saling melengkapi antara keduanya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah: 187. Allah Swt berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ
“Mereka (istri) adalah pakaian bagimu dan kamu (suami) adalah pakaian bagi mereka.”
Hubungan kerja sama antara suami dan istri dengan prinsip saling melengkapi adalah kunci dari keharmonisan rumah tangga. Apabila salah satu dari keduanya sedang berada dalam kesulitan secara ekonomi, maka siapa pun yang dinilai mampu harus membantu.
Yang paling penting dilakukan suami dan istri adalah komunikasi dan diskusi agar setiap pasangan memiliki kesempatan untuk menyatakan saran dan menerima perbedaan pendapat. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan QS. Al-Baqarah: 233. Allah Swt berfirman:
…فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ
“…Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya.”
Ayat tersebut menyiratkan pesan bahwa komunikasi dan diskusi antara suami dan istri terhadap suatu perkara merupakan kunci kemaslahatan dalam hubungan rumah tangga.
Baca: Hukum Menafkahi Keluarga dengan Hasil Judi Online
Peristiwa tragis yang dialami sepasang suami-istri abdi negara yang telah mengundang keprihatinan bersama itu menunjulkan bahwa prinsip ‘an taradlin (saling rida) menjadi sangat penting dalam urusan hal dan kewajiban dalam menunaikan nafkah. Selain itu, diperlukan pula tasyawur (komunikasi yang baik) sehingga tiap-tiap pihak memiliki kesadaran penuh untuk mewujudkan pernikahan yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Telah terlegitimasi dalam nash, bahwa seorang ayah seharusnya memberikan nafkah yang layak bagi ibu dari anak-anaknya:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ…
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf (layak/patut).” (QS. Al-Baqarah: 233).
Seorang suami atau ayah sebagai seorang qawwamun (pemimpin rumah tangga) harus menyadari betul tentang pentingnya kesehatan mental istri/ibu. Dengan seperti itu, maka ia akan semakin terdorong secara optimal dalam mengusahakan tanggung jawabnya terhadap keluarga.
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْۗ
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya.” (QS. An-Nisa: 34).
Peringatan Allah Swt untuk suami terhadap bahaya baby blues dan post partum deppression atau kondisi depresi pasca-melahirkan akibat dari penelantaran nafkah lahir atau batin untuk istri/ibu pun telah dijelaskan dalam Al-Qur’an:
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.“ (QS. Al-Baqarah: 233).
Alhasil, tanggung jawab pasangan suami dan istri bukanlah tentang “mana kewajibanmu dan mana hakku,” tetapi tentang bagaimana keduanya sama-sama mengupayakan sakinah (ketenangan jiwa), bertahan untuk saling mawadah (mencintai), dan rahmah (mengasihi) untuk dipertanggungjawabkan seluruhnya di hadapan Allah Swt sebagai sebuah mitsaqan ghalidza (ikatan pernikahan yang kokoh).
Wallahu a’lam bis sawab.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Penjawab: Nyai Uswatun Hasanah Syauqi, Praktisi Fikih Nisa, Sekretaris Majelis Masyayikh Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA), serta Pengasuh Pondok Pesantren Al-Azhar Mojokerto, Jawa Timur.
Bagi pembaca Ikhbar.com yang memiliki pertanyaan seputar fikih ibadah maupun muamalah, hukum waris Islam, keuangan dan ekonomi syariah, tata kelola zakat, dan sejenisnya, bisa dilayangkan melalui email redaksi@ikhbar.com dengan judul “Konsultasi.”
Setiap as’ilah atau pertanyaan yang masuk, akan dibedah melalui tim maupun tokoh-tokoh yang cakap di bidangnya dengan sumber-sumber rujukan valid dalam literatur keislaman.