Assalamualaikum. Wr. Wb.
Kiai Ghufron dan Ikhbar.com, saya Mohammad Iqbal dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Saya ingin bertanya, apakah diperbolehkan (mendadak) berkurban dengan alasan memanfaatkan sisa jualan hewan ternak (dari pada mubazir, mending buat kurban sendiri)? Apakah niat alternatif tersebut bisa mengganggu keafdalan kurban? Apakah niat kurban harus terbentuk secara utuh dan dimantapkan jauh-jauh hari? Terima kasih.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaannya, Bapak Mohammad Iqbal, di Semarang, Jawa Tengah.
Udlhiyah atau kurban adalah ibadah yang dilakukan dengan menyembelih hewan ternak pada hari raya Iduladha dan hari-hari tasyrik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, kurban juga disyaratkan harus memiliki niat yang dibacakan saat ibadah itu dijalankan. Yakni di saat hewan kurban akan disembelih.
Baca: Urutan Doa dan Bacaan saat Menyembelih Hewan Kurban
Keterangan ini terdapat dalam Hasyiyah al-Jamal, Juz 5, halaman 254:
و) شرطها (نية) لها (عند ذبح أو) قبله عند (تعيين) لما يضحي به)
“Syarat berkurban itu harus ada niat saat menyembelih atau sebelumnya, jika telah menentukan hewan yang akan disembelih untuk kurban.”
Di samping itu, ibadah kurban berlaku sejak selesai salat Iduladha sampai terbenamnya matahari pada akhir hari tasyrik atau tanggal 13 Zulhijah, Keterangan ini seperti tertuang dalam Fathul Qarib:
و يدخل(وقت الذبح) للأضحية (من وقت صلاة العيد) أي عيد النحر الى أن قال… ويستمر وقت الذبح (إلى غروب الشمس من آخر أيام التشريق)
“Waktu menyembelih kurban itu sejak masuknya waktu salat Ied sampai terbenamnya matahari akhir hari tasyrik, yaitu tanggal 13 Zulhijah.”
Dari keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa niat kurban tidak harus terbentuk secara utuh dan dimantapkan jauh-jauh hari. Dan tentunya, niat alternatif (mendadak) juga tidak akan mengganggu kualitas dari keafdalan kurban. Alasannya adalah karena yang terpenting niat ibadah kurban itu diucapkan saat penyembelihan yang dilakukan di hari Iduladha sampai akhir hari tasyrik. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penjawab: Kiai Ghufroni Masyhuda, Tim Ahli Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat dan Anggota Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Cirebon.