Oleh: KH Sobih Adnan (CEO PT. Ikhbar Metamesta Indonesia/Ikhbar.com)
“KURBAN” adalah kata paling tua yang hadir di segala laku spiritual manusia. Nyaris semua keyakinan dan agama menuntut kerelaan berkorban. Kondisinya amat paralel, seperti syarat iman untuk menumbuhkan cinta, lantas menagih sebabak pengorbanan.
Sebutan lebih luas dari kurban ialah sakrifasi. Ia lahir sejak kali pertama generasi manusia. Kisah pertentangan Qabil dan Habil pun muncul lantaran perbedaan nilai dalam mewujudkan persembahan.
Baca: Bolehkah Berkurban Atas Nama Orang Lain?
Pada mulanya, sakrifasi cuma sebentuk praktik ibadah berbasis spekulasi, mubazir, bahkan sadis dan menyeramkan. Ide sesembahan kurban melulu timbul dari hal-hal takhayul. Panas yang berkepanjangan atau wabah tak berkesudahan selalu dijawab tetua suku di masa lampau dengan mengorbankan nyawa manusia, baik anak maupun perempuan.
Kecuali, dalam keyakinan Semitik. Pengorbanan harus diberi batas atas. Pengorbanan tak boleh menggugat hak kemanusiaan, terlebih melenyapkan nyawa tanpa bertukar manfaat apa-apa.
Maka, amat wajar, jika ada teori yang menyebutkan bahwa sebuah gugatan akan menuntut lahirnya gugatan balasan berikutnya. Namun, filsuf Muslim, Al-Kindi bilang, “gugatan” yang kedua ini biasanya tak lain merupakan pintu menuju episteme, pengetahuan, alias penerang guna membedakan mana yang benar, dan mana yang sia-sia.
Gugatan balasan seperti itulah yang juga tak jarang ditunjukkan Allah Swt. Persis dalam kisah Nabi Ibrahim yang diuji menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Dalam periode itu, sakrifasi manusia yang kian marak sejatinya sedang digugat. Hingga lahirlah penggantian domba yang berada di bawah prinsip mutlak kemanusiaan, bahkan berbalik menjadi sesuatu yang mampu menghadirkan manfaat bagi banyak orang.
Orang-orang cerdas akan selalu tertarik dengan ibrah-ibrah semacam itu. Hingga abad 18, misalnya, pemikir Jerman, Immanuel Kant, masih turut berkomentar bahwa keraguan yang sempat muncul seper-sekian waktu di dada Ibrahim atas moralnya karena tega menerima perintah untuk menyembelih sang anak; hanyalah bukti kedaulatan manusia yang terus hidup di antara dialektika dua gugatan tersebut.
Baca: Cara Nabi Ibrahim Temukan Fondasi Ka’bah
Alhasil, Nabi Ibrahim sudah membocorkan cara lolos dari dua gugatan hingga menghasilkan pergeseran sakrifasi dari mengorbankan manusia menjadi penyembelihan hewan. Berbeda dengan Pemerintah Indonesia, di tengah maraknya fenomena PHK dan sempitnya peluang kerja, justru dengan percaya diri dan tanpa merasa bersalah berencana memotong gaji masyarkatnya atas nama iuran Tapera. Rakyat tetap menjadi korban utama. Wallahu a’lam bis-shawab.[]