Oleh: Agung Firmansyah (President Director Ikhbar.com dan Mudir Ikhbar Foundation)
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2019 membuktikan bahwa rakyat Indonesia tidak belajar dari masa lalu. Pasalnya, ada keidentikan antara Pilpres 2014 dan pesta demokrasi di lima tahun setelahnya, yakni ditemukannya eskalasi polarisasi masyarakat dan sebaran hoaks atau berita palsu.
Dua agenda rutinan negara demokrasi itu malah dirasakan sebagai pesta yang tegang dan murung. Selama Pilpres berlangsung, beberapa kosakata mengalami peyorasi akibat terseret ke dalam diskursus politik, seperti buzzer dan sejumlah nama hewan yang diasosiasikan kepada kelompok pendukung Calon Presiden (Capres) tertentu.
Kondisi tersebut diperparah oleh dua variabel. Pertama, ajang ini merupakan duel capres yang sama dua kali berturut-turut. Sehingga seolah-olah Pilpres 2019 adalah final fighting (pertarungan terakhir) dua kubu yang terpolarisasi sejak lima tahun sebelumnya.
Kedua, agama kerap digunakan sebagai kayu bakar polarisasi melalui mimbar-mimbar dan majlis-majlis. Akibatnya, relasi sosial dikeruhkan oleh relijiusitas semu yang semata-mata dieksploitasi demi elektabilitas.
Isu agama difavoritkan sebagai medium agitasi, lantaran Indonesia ditahbiskan sebagai bangsa paling relijius menurut Pew Research Center melalui survey bertajuk The Global God Divide (2020) dengan angka yang spektakuler, yaitu 96%.
Pilpres yang akan diselenggarakan pada 2024 pun disebut masih berpotensi berhadapan dengan risiko serupa. Hal itu berpotensi tetap terjadi jika kesadaran kolektif mengenai pentingnya pandangan politik yang rasional, dan perhatian terhadap isu-isu strategis tidak segera dibangun.
Perubahan kondisi di atas sesungguhnya dapat dibangun dari sesuatu yang amat sederhana, yakni sikap tenggang rasa atas pilihan yang berbeda. Polarisasi dapat ditepis oleh kesadaran bahwa preferensi seseorang merupakan haknya sebagai warga negara.
Sikap tersebut hendaknya ditempatkan sebagai sikap yang fundamental di atas segalanya. Tenggang rasa terhadap perbedaan preferensi meliputi pula perbedaan pola pikir, visi, dan strategi.
Permainan-permainan jorok di tengah perbedaan tersebut mungkin akan dilancarkan oleh sekelompok orang. Namun, polarisasi yang dimaksudkan terjadi melalui pola tersebut dapat dihindari apabila masyarakat tidak terpancing. Fair play di dalam kontestasi pilpres harus dipercayakan sepenuhnya kepada aturan dan lembaga-lembaga negara yang bertugas. Sedangkan urusan moral yang mengiringinya ditimbang oleh norma dan rasionalitas.
Saran ini mungkin terdengar klise. Padahal, sesuatu yang klise itu boleh jadi ibarat penawar herbal yang mujarab dan bahannya mudah ditemukan di sekitar.
Mungkin, sebagian masyarakat cenderung berpaling dari sesuatu yang semestinya dilakukan. Seperti dikatakan sebuah ungkapan, “Bare necessities the simple bare necessities” atau standar minimum yang harus dilakukan, seperti berbuat baik, merespons perbuatan, dan tidak berbuat jahat.[]