Ikhbar.com: Peringatan Haul Ke-13 KH Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid mengangkat tema “Gus Dur dan Pembaharuan NU.” Tema ini diangkat seiring kesiapan Nahdlatul Ulama (NU) dalam menyongsong usia satu abad sejak berdiri pada 1926.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri atau Gus Mus menyebut, upaya pembaharuan NU sudah terjadi di beberapa generasi.
“Pembaharuan pertama, menurut saya, dilakukan Allah yarham KH Mahfudh Siddiq (Ketua Umum PBNU Periode 1937-1944). Kiai Mahfud itu belajar otodidak. Beliau itu organisastoris, tetapi enggak tahu di mana dia belajar organisasi. NU mulai rapi itu ya di zaman Kiai Mahfudh Siddiq,” kata Gus Mus, saat menyampaikan tausiah, di Ciganjur, Jakarta, Sabtu, 17 Desember 2022, malam.
Di masa itu, lanjut Gus Mus, NU memiliki dua penerbitan besar, yakni Berita NU untuk konsumsi informasi internal, dan Suara NU untuk umum. “Yang fenomenal, Kiai Mahfudh mempunyai gerakan Mabadi khairu ummah, prinsip-prinsip umat terbaik. Belakangan, orang menyangka itu gerakan moral, padahal gerakan ekonomi,” ungkap Gus Mus.
Pembaharuan kedua, kata Gus Mus, lewat Gus Dur. “Dulu Gus Dur punya kumpulan namanya pecinta NU. Memikirkan hal-hal mulai dari kenapa kiai-kiai itu sudah enak di pesantren, kok bikin jamiyah NU itu utk apa? Hal itu terus dipikir dan dibahas,” kata dia.
Ternyata, menurut Gus Mus, konsep kembali ke khittah yang kemudian diadopsi NU memang diawali dari kelompok pecinta NU. “Kemudian ada Grup 24, lalu menuju Tim 7. Nah, Tim 7 ini ketuanya Gus Dur. Ini yang kemudian membikin draf tentang khittah NU dan program kegiatan NU,” kata Gus Mus.
Kemudian, kata Gus Mus, konsep itu pun disepakati di Munas Situbondo lalu dikukuhkan lewat Muktamar pada 1984. “Di Muktamar Situbondo, Gus Dur didorong untuk menjadi ketua umum untuk membuka wawasan NU,” kata dia.
Gus Mus menceritakan, setelah berhasil memimpin satu periode dan kembali terpilih pada Muktamar di Yogyakarta (1989), Gus Dur berniat untuk mencukupkan diri menjabat sebagai ketum. Namun, banyak ulama justru menyangkan keputusan tersebut.
“Termasuk, paman saya, Allah yarham Kiai Misbah Musthofa. Padahal beliau pengkritik Gus Dur paling hebat. Ketika mendengar Gus Dur mau berhenti, beliau datang ke rumah. Beliau menyampaikan bahwa saat ini kondisi sedang genting, yang dibutuhkan, ya orang seperti Abdurrahman. Yang pintar dan berani. Kalau pintar saja, enggak ada gunanya. Kalau berani saja, bisa menabrak-nabrak,” kisah Gus Mus.
Ternyata benar, kata Gus Mus, menghadapi Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya pada 1994, tekanan Presiden Soeharto lewat Orde Baru (Orba) makin menjadi-jadi. “Kondisinya luar biasa. Pak Harto itu ingin sekali menguasai NU. Ketika membonsai NU di PPP enggak berhasil, yang diserang Gus Dur. Kalau Gus Dur enggak berani, ya, sudah, habis. NU bakal selesai di Cipasung. Bayangkan, Gus Dur sebagai Ketum NU enggak bisa naik panggung. Tuan rumah, kok dibegitukan,” kata Gus Mus.
Selain keberanian Gus Dur, untungnya, lanjut Gus Mus, lebih banyak ulama yang mendukung agar NU tetap dipimpin almarhum. “Tapi, Gus Dur, di belakangnya kiai se-Indonesia, akhirnya berhasil,” kata Gus Mus.