Ikhbar.com: Kitab suci Al-Qur’an disyiarkan dalam bentuk bahasa Arab. Selain itu, kandungan makna dan pesan firman Allah Swt bersifat sangat universal.
Pengasuh Pondok Pesantren KHAS Kempek, Cirebon, KH Muhammad Musthofa Aqiel Siroj menjelaskan, atas kondisi tersebut maka dibutuhkan sebuah penjelas agar perintah dan larangan Allah Swt dalam Al-Qur’an bisa tersampaikan dengan baik kepada seluruh umat manusia.
“Yang memberikan penjelasan dari firman-firman tersebut, tentu haruslah sesosok orang yang mampu memahami tujuan Allah Swt,” kata Kiai Musthofa, saat memberikan mauidah hasanah dalam Haflah Tasyakkur dan Khotmi Alfiyah Ibnu Malik, Pondok Pesantren Putri KHAS Kempek Cirebon, Jawa Barat, Sabtu, 18 Maret 2023.
Kiai Musthofa menegaskan, memahami tujuan dan kehendak Allah Swt adalah perkara yang teramat sulit. Hal itu, tidak bisa diukur dengan keterbatasan alam pikiran manusia biasa.
“Bayangkan saja, misalnya, ketika dilaksanakan pengajian, hujan turun besar. Tetapi ketika digelar hiburan yang berpotensi maksiat, malah tidak hujan. Tentu, tujuan Allah ini tidak gampang ditebak,” katanya.
Maka, lanjut Kiai Musthofa, Allah Swt pun berfirman yang berisi sebuah perintah agar Rasulullah Muhammad Saw menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur’an kepada seluruh umat manusia.
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“… Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
“Jadi, memang Nabi Muhammad Saw lah yang memahami betul tujuan dan kehendak Allah Swt. Maka, Rasulullah yang berhak menjelaskan kandungan dari Al-Qur’an,” kata Kiai Musthofa.
Kiai Musthofa melanjutkan, penjelasan Nabi Saw itu lantas disebut dengan hadis. Akan tetapi, hadis Nabi pun masih menggunakan redaksi bahasa Arab.
“Maka, kita harus mengerti bahasa Arab. Caranya ya dengan belajar ilmu nahu dan sharaf. Sedangkan ikon dari kedua ilmu tersebut adalah kitab Alfiyah Ibnu Malik,” ungkap Kiai Musthofa.
Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut mengatakan, tanpa memahami ilmu nahu, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an bisa keliru, bahkan berakibat fatal. Terlebih lagi, di masa lampau, pencetakan Al-Qur’an belum dilengkapi dengan harakat.
Kiai Musthofa mencontohkan bacaan dan pemaknaan pada QS. At-Taubah ayat 3:
أَنَّ اَللهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
Annallaha bariun minal musyrikina wa rasuluhu
“Mestinya, biasanya, itu dibaca ‘wa rasulih‘ dengan dikasrah. Tapi, itu salah, bahkan salah fatal,” terang Kiai Musthofa.
Jika dibaca ‘wa rasulih,’ kata Kiai Musthofa, maka maknanya ‘…. Sesungguhnya Allah berlepas diri/tidak meridai dari orang-orang musyrik dan rasul-Nya.
“Maka yang benar adalah dengan didhamahkan karena menjadi athaf dari mahal lafaz ‘annallaha,’ yang artinya, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik,” katanya.
“Itulah pentingnya belajar nahu-sharaf untuk memahami makna Al-Qur’an dengan benar,” kata Kiai Musthofa.