Seabrek Penderitaan Penyandang Disabilitas di Gaza

Korban penyandang disabilitas di Gaza, Palestina. Foto: AFP

Ikhbar.com: Organisasi Hak Asasi Manusia Internasional, Euro-Med Monitor mengungkapkan, ada sekitar 130.000 penyandang disabilitas di Palestina sebelum Israel menyerang Gaza pada 7 Oktober 2023.

Organisasi tersebut menyebutkan bahwa hidup mereka kian menderita setelah serangan Israel yang tak henti. Para korban yang hidup dengan status cacat permanen, harus menghadapi tekanan mental yang semakin membuatnya sengsara.

Manajer advokasi kemanusiaan di Handicap International, Lise Salavert mengatakan, para korban disiabilitas tersebut harus menghadapi ancaman setiap harinya.

“Mereka menghadapi ancaman langsung tidak hanya terhadap martabat mereka, tetapi juga hak asasi mereka,” kata dia dikutip dari Arab News pada Senin, 22 Januari 2024.

Ia menyebutkan, perang di Gaza sebagai bencana yang mengerikan di dunia. Sebab seperti yang telah disebutkan, bahwa para korban disabilitas terus menghadapi ketakutan yang tiada henti.

“Dalam kondisi seperti itu, mereka terus mencari tempat berlindung untuk tetap aman, mendapatkan makanan, dan mengakses obat-obatan,” ujar dia.

Salavert mengatakan, ketika pengeboman hebat telah menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza, warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka dan sering kali melarikan diri untuk mencari keselamatan.

Baca: Korban Tewas Serangan Israel di Gaza sudah Lebih dari 25 Ribu Jiwa

“Para pengamat menyebutkan, kehancuran besar-besaran adalah bukti bahwa serangan Israel tidak proporsional dan gagal membatasi korban sipil,” katanya.

“Pihak Israel mengeklaim tidak menargetkan warga sipil. Mereka menyalahkan Hamas karena melakukan operasi militer dan meluncurkan roket dari daerah pemukiman padat penduduk,” imbuhnya.

Ia menjelaskan, meskipun militer Israel telah memerintahkan warga sipil untuk mengungsi ke zona aman, namun pemadaman listrik, telekomunikasi, dan kurangnya akses terhadap teknologi telah menghalangi banyak orang untuk mengakses informasi tersebut.

“Meskipun petunjuk itu dapat diakses, ternyata informasinya begitu membingungkan. Investigasi yang dilakukan organisasi media global mengungkapkan bahwa Israel sering mengeluarkan instruksi evakuasi yang tidak jelas dan kemudian menargetkan wilayah yang dianggap aman,” ucapnya.

“Bagi banyak penyandang disabilitas, terutama mereka yang memiliki keterbatasan gerak, melarikan diri dari serangan Israel adalah hal yang mustahil,” tegas Salavert.

Ia mengungkapkan bahwa banyak penyandang disabilitas di Gaza yang terpisah dari keluarga dan kawan-kawannya. 

“Warga tunarungu di Gaza tidak dapat mendengar suara roket yang datang. Alhasil, mereka tidak tahu untuk segera mencari tempat berlindung. Mereka juga banyak yang kehilangan alat bantu, obat-obatan,” katanya.

Kesulitan bantuan

Salavert mengatakan, blokade Israel selama 16 tahun di Jalur Gaza juga membuat penyandang disabilitas tidak bisa mendapatkan alat bantu yang diperlukan, seperti kursi roda, atau kaki palsu. 

“Dan sekarang, dengan terbatasnya bantuan kemanusiaan yang sampai ke Gaza, kebutuhan khusus kelompok ini masih belum terpenuhi,” tuturnya.

Mengutip data dari Handicap International, Salavert menyebutkan bahwa kebanyakan korban luka-luka akibat serangan Israel adalah patah tulang, cedera saraf tepi, amputasi, cedera tulang belakang dan otak, serta luka bakar.

“Jika mengutip data UNICEF, banyak dari 9.000 anak-anak yang terluka di Gaza mengalami kehilangan satu atau lebih anggota tubuh mereka. Bahkan sebelum perang, 21 persen keluarga di Gaza memiliki setidaknya satu orang penyandang disabilitas,” katanya.

Salavert yakin bahwa penggunaan senjata dan peledak berat secara besar-besaran di Gaza belum pernah terjadi sebelumnya.

“Bom-bom ini tidak hanya menghancurkan rumah sakit dan sekolah. Mereka telah merampok tangan dan kaki warga sipil. Mereka telah menembus sumsum tulang belakang. Mereka telah menimbulkan trauma pada otak dan mata,” ujar dia.

“Bom-bom Israel telah merampas pendengaran warga sipil. Banyak dari mereka mengalami pecah gendang telinga,” imbuhnya.

Baca: PBB: Negara Palestina Harus Diakui Semua Pihak

Menurutnya, kondisi itu kian diperparah dengan kurangnya akses terhadap layanan kesehatan dan kemanusiaan. Rumah sakit kewalahan menangani korban luka. Sementara banyak yang dilaporkan mengalami kerusakan akibat pertempuran tersebut. 

Menurut angka Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 304 serangan Israel berdampak langsung terhadap infrastruktur dan personel layanan kesehatan, serta memengaruhi 94 fasilitas dan 79 ambulans.

“Blokade Israel di Gaza juga menghalangi obat-obatan yang diperlukan, seperti obat penghilang rasa sakit, antibiotik, dan anestesi. Akibatnya, petugas kesehatan tidak dapat menawarkan obat pereda nyeri atau pengobatan infeksi kepada pasien,” jelas Salavert.

Ia mengatakan, pada bulan Desember 2024 banyak dari mereka yang terluka di Gaza mungkin mengalami kecacatan jangka panjang yang seharusnya bisa dihindari.

“Banyak orang yang terluka akibat pemboman dan penembakan mengalami patah tulang, sehingga memerlukan perawatan ortopedi segera untuk mencegah komplikasi yang tidak dapat diperbaiki, seperti nyeri, kontraksi otot, dan kelainan bentuk tubuh,” katanya.

Gangguan mental

Salavert mengungkapkan, kebanyakan korban luka yang kemudian menjadi disabilitas adalah perempuan. Kondisi ekonomi yang buruk kian melengkapi penderitaan mereka.

“Dampak buruk terhadap kesehatan mental juga mereka lami yang disebabkan perang dan tekanan untuk melindungi keluarganya,” ujar dia.

“Senjata-senjata ini menimbulkan gangguan stres pasca-trauma, kecemasan dan depresi pada sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza, setengah dari mereka adalah anak-anak,” kata Salavert.

Dia memperingatkan bahwa penggunaan senjata Israel seperti bom seberat 2.000 pon telah menanam benih keputusasaan dan kebencian di Palestina.

Nasib suram para disabilitas nyaris dipastikan terus berlanjut. Sebab Israel telah bersumpah untuk melanjutkan operasi militer di Jalur Gaza.

Berharap perang segera berakhir

Ia mengatakan, Handicap International membutuhkan akses yang aman dan tanpa hambatan ke seluruh wilayah Gaza dan Tepi Barat. Sehingga organisasinya itu dapat segera menjangkau para korban disabilitas.

“Sebaliknya, perang menghalangi mereka, menghalangi alat bantu, terapi fisik, dukungan psikososial, dan semua bantuan lain yang menjadi hak mereka. Penyandang disabilitas memerlukan undang-undang dan kebijakan yang dibuat untuk melindungi mereka agar dapat ditegakkan,” imbuhnya.

Ia mengungkapkan, sebelum 7 Oktober 2023, rata-rata 500 truk bantuan memasuki Jalur Gaza yang terkepung setiap hari. Jumlah tersebut menurun selama periode 20 Oktober hingga 21 November menjadi kurang dari 100 truk.

Baca: Dua Perempuan Tewas per Jam, Kekerasan Seksual di Gaza kian Mengancam

Setelah pembukaan kembali perbatasan Rafah Mesir pada bulan November, sekitar 100-300 truk per hari memasuki Gaza. Namun menurut Salavert, kebutuhannya meningkat drastis selama perang dimulai.

Organisasi kemanusiaan, termasuk Program Pangan Dunia, kata dia, telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan di Gaza jika bantuan yang memadai tidak diberikan.

Salavert menyerukan bantuan kemanusiaan yang aman, cepat, dan tanpa hambatan untuk memenuhi kebutuhan mendesak warga sipil Gaza. Ia menegaskan, bantuan harus diperbolehkan melalui semua penyeberangan perbatasan untuk memastikan bantuan bagi seluruh wilayah.

“Hanya gencatan senjata yang dapat memastikan bahwa organisasi bantuan memberikan dukungan yang diperlukan,” tandasnya.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.