Ikhbar.com: Lebih dari 3.600 anak-anak Palestina terbunuh dalam 25 hari perang yang berlangsung antara Israel dan Hamas di Kota Gaza. Mereka tewas karena terkena serangan udara, dihantam roket, terbakar ledakan, hingga tertimpa puing-puing reruntuhan bangunan.
Kementerian Kesehatan Palestina mencatat, hampir setengah dari 2,3 juta penduduk di Gaza berusia di bawah 18 tahun. Sedangkan sebanyak 40% dari mereka telah tewas dalam perang yang sudah berlangsung selama tiga pekan terakhir ini.
“Ketika rumah-rumah hancur, bangunan itu roboh menimpa kepala anak-anak,” tulis laporan Adam Al-Madhoun, dikutip dari Associated Press (AP) pada Kamis, 2 November 2023.
Meski begitu, dengan tanpa merasa bersalah, Israel mengatakan bahwa serangan udaranya itu hanya menargetkan markas dan pangkalan militan Hamas. Mereka justru menuding Hamas-lah yang sengaja menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.
“Entah apapun alasannya, Gaza telah menjadi kuburan bagi ribuan anak,” kata juru bicara badan anak-anak PBB (UNICEF), James Elder.
Baca: Kisah Pilu Ibu-ibu Palestina Jaga Kesehatan Mental Anak Mereka di Gaza
Hassan membaca puisi, lalu mati
Kisah menyedihkan datang dari anak bernama Aseel Hassan (13). Sang ayah, Hazem bin Saeed mengenang, Hassan adalah anak berprestasi yang amat menggemari puisi-puisi Arab klasik.
Selama perang berlangsung, ketika pengeboman militer Israel mengguncang tembok di dekatnya, Hassan tetap berdiri tegak menghibur teman-temannya dengan membacakan puisi karya Abu Al Tayyib Al-Mutanabbi, penyair terkenal asal Irak pada abad ke-10.
“Ketika saya bertanya apa yang ingin dia lakukan ketika besar nanti, dia menjawab, terus membaca puisi,” kata Saeed, ayah penuh kenang duka yang kini berusia 42 tahun itu.
“Puisi adalah pelarian Hassan,” katanya.
Namun, pada serangan udara berikutnya, yakni pada 19 Oktober lalu, bom Israel berhasil meratakan rumahnya yang terdiri dari tiga lantai di Deir Al-Balah. Hassan dan saudara laki-lakinya yang berusia 14 tahun bernama Anas, tewas.
“Ia ingin terus membaca puisi, lalu mati,” kata Saeed sembari meneteskan air matanya.
Baca: Konflik Gaza Bongkar Kedok Kebebasan Ekspresi di Barat
Souri ingin main bola lagi
Sebuah ledakan membuat Majd Souri (7) sangat ketakutan. Ayahnya, Ramez Souri (45) mengenang putranya itu sebagai calon pemain sepak bola terbaik.
Sebelum tewas, Souri mencurahkan perasaannya kepada sang ayah bahwa dia amat rindu bermain sepak bola dengan tanpa rasa takut bersama teman-temannya di sekolah.
“Baba (ayah), ke mana kita akan pergi dan bersembunyi?” ucap Souri ketika banyak pesawat Israel mulai berdatangan dan menderu-deru di atas rumahnya.
Keluarga Souri merupakan anggota komunitas Kristen yang taat. Mereka pun segera berlari menuju Gereja Ortodoks Yunani St. Porphyrius di Kota Gaza. Di dalam gereja sudah ada puluhan keluarga yang turut berlindung. Sayangnya, ketika mereka mulai berdoa dan menyanyikan pujian bersama-sama, sebuah rudal menghantam dan menghancurkan bangunan gereja, tepatnya pada 20 Oktober 2023, di sebuah siang yang nahas.
Akibatnya, sebanyak 18 orang tewas, termasuk Souri dan beberapa temannya. Sang ayah menemukan jenazah Souri tertimbun reruntuhan dengan tangan merangkul ibundanya. Seluruh wajah Souri terbakar, mengenaskan.
“Anak-anak saya hanya menginginkan perdamaian dan stabilitas agar bisa kembali bermain sepak bola dengan leluasa. Tetapi, itu cuma mimpi,” kata ayah Souri.
Baca: Kritik untuk Shakespeare dari Anak-anak Korban Teror Bom Israel di Gaza
Pengin jadi jurnalis, bukan perang
Pada Rabu, 25 Oktober 2023, siaran langsung televisi Al Jazeera menayangkan momen mengerikan ketika Kepala Biro Gaza saluran tersebut, Wael Dahdouh, mengetahui bahwa serangan udara Israel telah menewaskan sejumlah keluarganya. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika sang istri, putrinya yang berusia 6 tahun, cucunya yang masih bayi, dan putranya yang bernama Mahmoud Dahdouh (16) tewas bersimbah darah.
Saat dikerumuni kamera TV di rumah sakit, sang ayah menangisi anak remaja itu sembari bergumam, “Kamu ingin menjadi jurnalis kan?”
Dahdouh adalah remaja berstatus pelajar di American International High School di Kota Gaza. Dia sedang getol-getolnya belajar menjadi reporter berbahasa Inggris. Dahdouh rajin menghabiskan waktunya demi mengasah keterampilan di depan kamera lalu mengunggah klip liputan amatir garapannya di YouTube.
Sebuah video yang direkam Dahdouh beberapa hari sebelum dia meninggal menunjukkan tayangan mobil-mobil yang hangus, kepulan asap hitam, dan rumah-rumah yang rata dengan tanah. Dia dan saudara perempuannya, Kholoud, bergiliran menyampaikan monolog dengan tetap berusaha keras agar terdengar di tengah terpaan angin yang tampak begitu kencang dan berdebu.
“Ini adalah perang paling sengit dan kejam yang pernah kita alami di Gaza,” katanya sambil berupaya menghalau terpaan udara dengan tangannya.
Di akhir klip, kedua bersaudara itu kembali menatap ke kamera, dan berseru, “Bantu kami untuk tetap hidup!” Dengan nada yang terdengar begitu kompak.