Kota Gaza telah Kosong, hanya Tersisa Ledakan dan Jeritan

Seorang warga Gaza bersedih di atas tumpukan puing rumahnya yang hancur usai dibom pasukan Israel. Dok REUTERS

Ikhbar.com: Jalan-jalan di Kota Gaza, Palestina, hancur. Hampir seluruh penduduk di dalamnya terpaksa mengungsi pada Jumat, 10 November 2023 kemarin, seiring baku tembak antara tentara Israel dan militan Hamas kian berkecamuk.

Rentetan tembakan, ledakan, dan dengungan pesawat tak berawak militer Israel terdengar ketika malam mulai menyelimuti Gaza. Kota itu mendadak gelap, satu-satunya cahaya hanya terpancar dari bangunan Rumah Sakit (RS) Al-Shifa, yang penuh dengan korban jiwa.

“Saya tidak yakin anak-anak saya atau saya sendiri akan selamat,” kata ujar seorang warga Gaza, Jawad Haruda, dikutip dari Al-Arabiya, Sabtu, 11 November 2023.

Haruda menyebut, pelariannya ke kamp pengungsi di wilayah pesisir Shati itu sebagai sebuah tragedi. Sedangkan tentara Israel terus merangsek ke jantung kota yang sebelum masa perang, lokasi itu ramai lalu lalang pembeli dan padat oleh lalu lintas kendaraan selayaknya kota-kota lain di dunia.

Baca: 50 Ribu Ibu Hamil di Gaza Dicekam Ketakutan, dari Minim Ambulans hingga Operasi Caesar tanpa Pembiusan

Ancaman kelaparan

“Kini, situasinya sudah sangat sulit. Pengeboman melanda semua wilayah Gaza. Bentrokan terjadi di mana-mana,” kata koresponden veteran Al-Jazeera, Wael Al-Dahdouh, usai berhasil meninggalkan kota tersebut.

Pemandangan bagian luar RS Al-Shifa di Kota Gaza pada 10 November 2023, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas. Dok AFP

Setelah lima minggu Israel mengebom Gaza tanpa henti hingga menewaskan orang-orang yang bersembunyi di sekolah, rumah sakit, dan sejumlah tempat tinggal, kini ribuan warga berjalan ke selatan sejauh beberapa kilometer untuk menghindari serangan darat yang kian intensif.

Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mencatat, hampir 1,6 juta orang menjadi pengungsi sejak 7 Oktober 2023. Jumlah itu, setara dengan dua pertiga dari keseluruhan populasi di Kota Gaza.

Penghuni Kamp Shati lainnya, Munir Al-Raii menyebut, Gaza kini telah kosong akibat serbuan Israel yang membabi buta dan tanpa pandang bulu.

“Rumah-rumah runtuh menimpa penghuninya tanpa menyisakan apapun, kecuali tubuh manusia bagi mereka yang masih bisa menyelamatkan diri,” katanya, sambil menggendong seorang anak kecil di pundaknya.

Kampanye militer Israel telah menewaskan hampir 11.000 orang di Gaza yang sebagian besarnya merupakan warga sipil. Tidak hanya itu, mereka yang selamat dari perang pun kini harus berhadapan dengan persoalan kurangnya pasokan bahan pangan.

Seorang pengungsi, Mohammad Al-Talbani mengatakan, tidak ada lagi yang bisa dimakan di Kota Gaza.

“Tidak ada yang tersedia sama sekali di Kota Gaza,” katanya, sembari menggendong bayi dan membawa ransel kecil di bahunya saat mengungsi.

“Kami kekurangan makanan dan air. Kami yang ke toko untuk beli popok dan susu untuk anak kami pun, tidak ada,” ujarnya.

Baca: Standar Ganda Amerika di antara Perang Rusia vs Ukraina dan Serangan Israel ke Gaza

Warga Gaza kibarkan bendera putih untuk mencari tempat berlindung di tengah gempuran pasukan Israel. AP/Mohammed Dahman

Hanya memakan bawang mentah

Badan Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyebutkan, sudah tidak ada lagi toko roti yang beroperasi atau membuka lapaknya, terutama di Gaza bagian utara. Krisis itu bermula setelah Israel mengebom panel surya yang berada di atap toko roti terbesar di Kota Gaza hingga luluh lantak. Warga yang putus asa pun mengambil semua tepung dari toko tersebut.

“Kami tidak punya makanan, haruskah kami mati kelaparan?” kata salah satu dari mereka, Daoud.

OCHA juga mengeklaim telah menerima laporan tentang adanya sejumlah warga yang memakan bawang mentah demi bertahan hidup.

Seruan global untuk menghentikan pertempuran guna meringankan bencana kemanusiaan di Gaza, serta mengizinkan sekitar 240 sandera yang direnggut dari Israel untuk dibebaskan, ternyata tidak diindahkan.

Penduduk Kota Gaza yang berhasil lolos dari serangan darat tetap menghadapi risiko lebih besar karena masifnya pengeboman udara dari pesawat Israel di tengah kepadatan penduduk ekstrem di wilayah bagian selatan.

Sementara itu, mereka yang belum bisa meninggalkan Gaza terus menghadapi peningkatan kekerasan di jalanan.

Berdiri di samping sejumlah jenazah di halaman RS Al-Shifa, seorang pemuda Palestina mengangkat tangannya ke langit dan menjerit, “Tolong, ini sudah cukup. Kami tidak tahan lagi!” ujarnya, seraya menangis.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.