Guru di Gaza: Saya Sangat Rindu Murid Kelas Lima, Ya Allah! Jaga Mereka

Anak-anak di Kota Gaza, Palestina sedang berada di gedung sekolah mereka yang hancur setelah dibom Israel. REUTERS/RANEEN SAWAFTA

Ikhbar.com: Kementerian Pendidikan Palestina telah menangguhkan tahun ajaran 2023/2024 bagi 625 ribu siswa sekolah dasar di Kota Gaza. Keputusan yang dikeluarkan pada Senin, 6 November 2023 pekan lalu itu dinilai penting demi menyelamatkan nyawa para murid dari serangan militer Israel yang membabi buta dan terus-menerus tanpa henti sejak 7 Oktober 2023.

Seorang guru sains di Gaza, Ruwaida Amer menjelaskan, kegiatan belajar mengajar di Gaza sebenarnya sudah terganggu dalam dua bulan terakhir. Konflik demi konflik yang meletup membuat orang tua mereka waswas untuk melepas anak-anaknya pergi ke sekolah.

“Ya, sejak dua bulan lalu atau pas tahun ajaran baru dimulai, tatap muka saya dan para murid sudah mulai jarang,” kata guru kelas lima tersebut, seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin, 13 November 2023.

Baca: Kota Gaza telah Kosong, hanya Tersisa Ledakan dan Jeritan

Tahun ajaran spesial

Ruwaida menyebut tahun ajaran kali ini merupakan momentum yang spesial. Pasalnya, bulan-bulan awal yang biasanya dimanfaatkan untuk sarana saling mengenal dan mengakrabkan antara murid dan guru di tahun ini begitu berat dilaksanakan.

“Biasanya saya dan murid-murid mulai mengenal satu sama lain dan membangun ikatan cinta dan kepercayaan yang akan tumbuh sepanjang tahun,” katanya.

“Sekarang, sudah lebih dari dua bulan sejak awal tahun ajaran, tetapi saya belum mempunyai kesempatan untuk mengenal siswa baru saya yang duduk di kelas lima. Saya merindukan mereka,” keluh Ruwaida.

Menurut Ruwaida, tradisi hubungan guru-murid di Gaza sehangat ikatan anak dan orang tua. “Keterikatan kami lebih dari sekadar urusan tugas-tugas di sekolah,” katanya.

Bahkan, lanjutnya, setiap guru berhasil mengenal kepribadian para murid dengan fasih. Dan setiap awal tahun, proses pengenalan lebih dalam itu membutuhkan waktu sekitar enam minggu sejak tahun ajaran baru dibuka.

“Jadi, di tahun ini, saya belum sempat mengenal lebih dekat 90 siswa saya di kelas lima. Tapi ikatan cinta mereka dalam kondisi seperti ini justru semakin terasa,” tegas Ruwaida.

Ruwaida mengenang ketika sebelumnya ia pernah beberapa kali mendapatkan kesempatan bertemu para murid kesayangannya itu. Meski belum hapal satu-persatu nama siswa di kelas baru itu, tetapi rasa sayangnya sudah begitu kuat.

“Terkadang saya mencampuradukkan nama mereka dan mereka akan mengoreksi saya. Atau saya akan memanggil mereka dengan nama keluarga, lalu mereka akan berkata, ‘Panggil saya dengan nama ini saja, Ibu.’ Saya begitu terngiang dengan tawa mereka ketika mengingat kejadian itu,” ungkap Ruwaida.

Menurut dia, siswa-siswinya di Gaza memiliki kemampuan untuk menceriakan suasana kelas. Dengan kenakalan-kenakalan dan tingkah yang tidak mudah ditebak, mereka dinilai kerap membuat guru urung marah ketika dilanda kesal maupun lelah.

“Itulah sebabnya saya, dan para guru lain relatif tidak pernah memberikan hukuman ketika salah satu dari mereka dinilai telah melakukan kesalahan,” katanya.

Catatan siswa di Gaza yang berbunyi, “Tidak ada hal negatif untuk dikatakan, keseluruhan kurikulumnya bagus. Sains adalah mata pelajaran favorit saya. Ibu menjelaskan semuanya dengan sangat jelas dengan suara yang indah. Semoga Tuhan menjaga dan melindungimu, Ibu Ruwaida.” AL JAZEERA/Ruwaida

Baca: 50 Ribu Ibu Hamil di Gaza Dicekam Ketakutan, dari Minim Ambulans hingga Operasi Caesar tanpa Pembiusan

Murid-murid cerdas

Di sisi lain, lanjut Ruwaida, murid-murid di Gaza adalah anak-anak yang cerdas. Para siswa terlihat tampak begitu cepat dalam memahami segenap pelajaran yang disampaikan.

“Padahal saya guru sains, pelajaran yang cukup menjadi pekerjaan rumah bagi kurikulum di Palestina,” katanya.

“Oleh karena itu, saya terus mencoba menyampaikan pembelajaran dengan aktivitas ekstra agar segala sesuatunya terasa lebih sederhana, mudah, ringan,” sambungnya.

Ruwaida mengaku, dirinya kerap menemukan kelompok siswa di kelas lima yang sudah dewasa sebelum waktunya. Mereka disebutnya lebih pintar dari anak-anak sebaya di kelasnya.

“Setiap dari mereka memiliki gaya dan kepribadiannya sendiri. Saya sudah mempunyai kesan yang kuat bahwa mereka adalah laki-laki dan perempuan remaja, bukan hanya anak-anak berusia 10 tahunan,” katanya.

Ruwaida menceritakan, sejak dua tahun lalu, ia selalu meminta para siswa untuk menulis catatan yang berisi pemikiran, pendapat, dan penilaian mereka tentang pelajaran dan guru yang mereka jumpai di setiap hari.

“Dan pada 5 Oktober lalu atau dua hari sebelum perang dimulai, saya kembali meminta anak-anak untuk menulis catatan mereka secara anonim,” cerita Ruwaida.

Mereka pun tampak menyukai gagasan itu, ujar Ruwaida. Dia mengakui bahwa ada kekhawatiran tentang apa yang mungkin ditulis siswa tentangnya justru bernilai negatif.

“Saya mengumpulkan kertas mereka dan memberi tahu mereka bahwa saya akan membacanya nanti,” katanya.

Sejumlah siswa ada yang menuliskan namanya dan ada pula yang tidak di lembar kertas itu. Mereka mengisinya dengan tulisan tangan ditambah beberapa gambar yang lucu.

Salma, siswi cantik yang selalu memelukku saat aku memasuki kelas menuliskan, “Kurikulumnya bagus. Ibu menjelaskan semuanya dengan sangat jelas. Satu lagi, Bu, suaramu bagus.”

“Tulisan itu masih saya simpan dan tentu saja akan membuatku tersenyum setiap kali membacanya,” kata Ruwaida.

Sementara Rafiq, siswa yang dikenal super-pintar menulis, “Ibu adalah guru terbaik dengan mata pelajaran terbaik.” Siswa lainnya, Hassan mengungkapkan, “Penjelasan ibu sangat mudah dipahami dan pelajarannya jadi menyenangkan.”

Qusay dan Qais, si kembar, kompak menulis, “Pelajarannya bagus.”

Salah satu gedung sekolah di Kota Gaza yang hancur karena dibom Israel. Dok BROOKINGS

“Ketika membaca itu, saya menangis. Saya sangat rindu kantuk mereka di pagi hari, saya rindu kenakalan mereka, saya rindu mendengar mereka berteriak ‘Ibu!’ di saat aku menyapa mereka,” keluh Ruwaida.

“Saya ingin perang ini berhenti dan bisa kembali bersama mereka. Itu saja. Ya Allah, jagalah mereka,” tutupnya.

Ruwaida mengaku lemas seketika setiap kali membaca data Kementerian Kesehatan di Gaza bahwa lebih dari 11 ribu orang telah tewas akibat serangan Israel dan lebih dari 4.400-nya adalah anak-anak. Ruwaida kian sedih ketika melihat dengan mata kepala sendiri banyak gedung sekolah di kota itu kini telah rata dengan tanah.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.