Ikhbar.com: Keluarga dari 20 pria yang dipenjara karena menolak untuk berperang demi mempertahankan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia kini menuntut pemulihan nama baik leluhur mereka. Mereka berpendapat bahwa alih-alih dicap sebagai “pengkhianat dan pengecut,” para tentara tersebut seharusnya diakui sebagai pihak yang berada di sisi sejarah yang benar.
Sebuah penyelidikan resmi yang dilakukan terhadap periode pasca-Perang Dunia II mengungkapkan bahwa kampanye militer Belanda di Indonesia secara sistematis menggunakan “kekerasan berlebihan” dan bertanggung jawab atas pembantaian ratusan warga desa yang tidak bersalah. Keluarga para korban kekerasan ini akhirnya memenangkan kompensasi dari pemerintah.
Pada 2022, Perdana Menteri Belanda saat itu, Mark Rutte mengeluarkan permintaan maaf atas peran negaranya dalam kekerasan di Indonesia. Pemerintah Belanda juga menyatakan bahwa jika para penolak wajib militer terbukti mengetahui adanya kekerasan ekstrem yang dilakukan pasukan Belanda, maka reputasi mereka bisa dipulihkan.
Kini, keluarga dari 20 pria yang dikenal sebagai Indonesië-weigeraars (Penolak perang Indonesia) kembali mendesak pemerintah untuk membersihkan nama baik orang tua maupun kakek mereka.
“Kami ingin vonis mereka dibatalkan karena ayah kami masih terdaftar sebagai pembelot, pengkhianat, dan pengecut,” kata Nel Bak, seorang perempuan berusia 68 tahun dari Middenbeemster, sebagaimana dikutip dari The Guardian, pada Senin, 14 Oktober 2024.
Baca: Ratusan Barang Rampasan Masa Penjajahan Dikembalikan Belanda ke Indonesia
Bak bersama ibunya yang kini berusia 95 tahun meminta pengampunan bagi ayahnya, Jan de Wit, yang dipenjara selama tiga tahun karena menolak berperang.
“Ayah saya berasal dari latar belakang komunis dan menghormati seruan kemerdekaan Indonesia. Ia merasa bahwa Belanda tidak punya hak untuk berada di sana,” ujarnya.
Selama periode tersebut, Pemerintah Belanda mengerahkan 120.000 pria untuk menghentikan Republik Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Menurut laporan resmi, Belanda terlibat dalam perang tanpa harapan yang semakin brutal seiring waktu. Kekerasan ekstrem secara sistematis dilakukan oleh pasukan Belanda dengan persetujuan penuh dari pemerintah saat itu.
Eelco van der Waals (68), salah satu anggota keluarga yang menuntut pemulihan nama baik mengungkapkan bahwa ayahnya yang seorang pasifis, Koos van der Waals, pernah dipenjara karena menolak berperang di Indonesia. Meskipun telah menerima permintaan maaf dari mantan Menteri Pertahanan Belanda, Kajsa Ollongren, pada Juni 2024 lalu, Eelco masih merasa bahwa rehabilitasi penuh sangat diperlukan untuk memberi pelajaran berharga bagi generasi mendatang.
“Setelah Jepang dikalahkan di Asia Timur, Amerika dan Inggris mengambil alih kendali. Namun, perusahaan-perusahaan Belanda tidak bisa menerima hilangnya kepentingan mereka di Indonesia. Akibatnya, pemerintah Belanda memilih jalur yang salah,” kata Eelco.
“Rehabilitasi lebih dari sekadar permintaan maaf, ini tentang mengakui kesalahan besar dalam sejarah kita,” tegasnya.
Senada dengan Eelco, Peter Hartog (70), warga Rotterdam, juga menuntut pemulihan nama baik sang ayah, Rienus Hartog, yang dipenjara karena menolak untuk membunuh selama pelatihan militer.
“Ayah saya selalu teguh pada prinsipnya, dan dia pantas mendapatkan pengakuan atas sikapnya,” kata Hartog.
Baca: Pencipta Lagu Indonesia Raya WR Soepratman Seorang Muslim, Kata Keluarga
Seorang pengacara yang memperjuangkan rehabilitasi bagi para penolak wajib militer, Jurjen Pen, menekankan bahwa tidak adil jika keluarga-keluarga tersebut harus membuktikan bahwa leluhur mereka mengetahui kekerasan ekstrem yang terjadi. Mengingat keterbatasan komunikasi saat itu dan penyangkalan resmi dari pemerintah selama bertahun-tahun, Pen berpendapat bahwa semua hukuman yang dijatuhkan kepada para pria tersebut seharusnya dihapuskan.
“Di Jerman, mereka yang menolak berperang untuk Nazi juga diberi pengampunan penuh,” kata Pen.
Ia menambahkan bahwa di bawah hukum Belanda, ada tiga bentuk rehabilitasi, yaitu permintaan maaf atas perlakuan yang tidak adil, pemulihan nama baik, dan pengampunan penuh yang menghapus vonis secara keseluruhan.
Menurut Pen, pengampunan penuh adalah langkah yang paling tepat bagi para Indonesië-weigeraars.
“Belanda memiliki banyak hal yang harus disesali dalam sejarahnya. Itulah mengapa belum ada amnesti yang diberikan. Pengakuan bahwa kami sepenuhnya salah adalah langkah penting yang harus diambil,” lanjutnya.
Namun, langkah ini masih menuai kontroversi. Juru Bicara Kementerian Pertahanan Belanda, Klaas Meijer menyatakan bahwa rehabilitasi tersebut bisa berdampak pada kemampuan Belanda untuk menghadapi ancaman di masa depan.
“Pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa para tentara ini hanya dapat direhabilitasi jika terbukti bahwa mereka benar-benar tahu tentang kekerasan ekstrem yang terjadi saat itu,” katanya.
“Kami masih memiliki sistem wajib militer, meskipun kewajiban untuk hadir sudah ditangguhkan. Jika ancaman global seperti dari Rusia semakin besar dan perang pecah, rehabilitasi ini bisa melemahkan fondasi wajib militer kami,” kata Meijer.