Ikhbar.com: Dalam satu dekade ke depan, dunia diperkirakan tidak akan mampu menangani volume limbah plastik yang terus meningkat. Dibutuhkan langkah konkret untuk membatasi produksi plastik demi memastikan kondisi bumi tetap baik-baik saja.
Demikan disampaikan Menteri Pembangunan Internasional Norwegia sekaligus Ketua Bersama Koalisi Negara-negara Ambisi Tinggi, Anne Beathe Tvinnereim, menjelang pembicaraan akhir PBB di Busan, Korea Selatan, yang membahas perjanjian global pertama untuk mengakhiri polusi plastik.
“Jika produksi dan konsumsi plastik tidak dikurangi, kita tidak akan mampu menangani volume plastik dalam sistem satu dekade mendatang,” kata Tvinnereim, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Senin, 25 November 2024.
Baca: Butuh Rp32 Triliun Lebih untuk Tangani Sampah Plastik di Indonesia
Saat ini, lebih dari 60 negara yang tergabung dalam koalisi, termasuk Rwanda dan Norwegia, demi mendorong agar polusi plastik ditangani menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari produksi, konsumsi, hingga pembuangan. Namun, proses negosiasi menghadapi hambatan besar.
Negara-negara penghasil plastik, seperti Arab Saudi, Rusia, dan Iran, menolak pemotongan produksi dan lebih menekankan pada solusi pengelolaan limbah.
Krisis plastik telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia, biodiversitas, dan perubahan iklim. Berbagai penelitian di tahun ini mengungkapkan keberadaan mikroplastik dalam plasenta manusia, arteri yang berhubungan dengan risiko serangan jantung dan stroke, hingga testis dan air mani. Fakta ini menambah kekhawatiran terhadap dampak buruk plastik yang terus menyebar.
Penggunaan plastik global diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2060, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia. Limbah plastik yang dihasilkan juga akan meningkat tiga kali lipat, dengan setengahnya diperkirakan berakhir di tempat pembuangan akhir dan kurang dari 20% yang didaur ulang.
Pada 2023 lalu, Alliance to End Plastic Waste bersama Roland Berger merilis laporan berjudul “Plastic Waste Management Framework” yang menyatakan bahwa ada sebanyak 250 juta ton limbah plastik yang disumbangkan seluruh negara di dunia di setiap tahunnya.
Tvinnereim menyebut, kesepakatan untuk menghapus secara bertahap penggunaan plastik sekali pakai dan melarang bahan kimia berbahaya dalam plastik, termasuk pada kemasan makanan dan mainan anak, seharusnya menjadi langkah logis yang disepakati bersama.
Baca: Sekolah di Nigeria Bisa Bayar Pakai Sampah Daur Ulang
“Banyak negara sudah menerapkan larangan plastik sekali pakai secara sepihak. Ini harus menjadi bagian dari solusi global,” ujarnya.
Perjanjian global untuk mengendalikan limbah plastik telah digagas sejak dua tahun lalu dengan melibatkan 175 negara. Namun, hingga kini perbedaan tajam masih menghambat kemajuan. Salah satu isu utama adalah kebutuhan untuk memangkas nilai industri plastik global yang mencapai Rp11.253 triliun.
Pada pembicaraan sebelumnya, para delegasi gagal mencapai kesepakatan terkait target produksi plastik yang dianggap sebagai langkah utama untuk mengendalikan limbah. Putaran akhir pembicaraan, yang berlangsung hingga 1 Desember 2024 mendatang, menjadi momen krusial untuk menentukan arah kebijakan global.
Negara-negara berkembang yang paling terdampak akibat produksi plastik berlebih menyerukan pemotongan global. Sementara itu, posisi Amerika Serikat sebagai salah satu produsen plastik terbesar menimbulkan ketidakpastian. Meskipun AS baru-baru ini menyatakan dukungannya terhadap pembatasan produksi, kemungkinan kembalinya Donald Trump sebagai presiden yang pro bahan bakar fosil menambah keraguan.
Tvinnereim berharap koalisi negara ambisi tinggi dapat menunjukkan kepemimpinan dalam mendorong solusi global. “Dunia sangat membutuhkan kabar baik dan kepemimpinan saat ini,” katanya.
Ia juga menyebut keterlibatan Tiongkok sebagai faktor kunci dalam keberhasilan negosiasi. “Jika Tiongkok mau mengambil langkah besar, seperti yang telah mereka lakukan dalam isu lain, kita memiliki peluang besar untuk menciptakan instrumen yang efektif. Jika tidak, tantangannya akan jauh lebih besar,” ujar seorang negosiator dari salah satu negara anggota koalisi.
Keberhasilan pembicaraan ini sangat penting untuk mencegah dunia terjerumus dalam krisis limbah plastik yang tak tertangani. Kesepakatan yang dicapai diharapkan tidak hanya menjadi langkah awal, tetapi juga dapat diperkuat seiring waktu.