Ikhbar.com: Rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump untuk merelokasi sekitar 2 juta warga Palestina dari Gaza ke Yordania mendapat penolakan keras dari kerajaan tersebut. Raja Abdullah II, yang dijadwalkan bertemu dengan Trump pada 11 Februari 2025, akan menyampaikan bahwa rencana ini bisa membahayakan stabilitas Yordania dan merusak hubungan dengan Israel.
Menurut mantan Menteri Luar Negeri Yordania, Marwan Muasher, kibaran bendera merah alias penolakan terhadap rencana tersebut sangat kuat di kalangan publik Yordania.
“Ini bukan hanya masalah ekonomi atau keamanan, tetapi masalah identitas negara,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Al Arabiya, Jumat, 7 Februari 2025.
Baca: OKI Geram, Peta ‘Israel Raya’ Caplok Negara-negara Arab
Yordania khawatir rencana Trump akan memicu pengusiran warga Palestina dari Tepi Barat, yang berpotensi memperburuk situasi di kawasan.
Trump sebelumnya mengusulkan agar Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah” setelah warga Gaza dipindahkan ke negara-negara tetangga, termasuk Yordania. Meski Gedung Putih kemudian meralat pernyataannya dan menyebut pemindahan itu bersifat sementara, rencana tersebut tetap dianggap berbahaya bagi Yordania, yang telah menampung lebih dari setengah penduduknya yang berasal dari Palestina.
Yordania, yang memiliki 11 juta penduduk, sebagian besar berasal dari Palestina, telah lama menentang gagasan menjadikan negara tersebut sebagai rumah bagi negara Palestina. Negara ini juga khawatir jika Gaza dipindahkan, bisa terjadi gelombang pengusiran serupa terhadap sekitar 3 juta warga Palestina dari Tepi Barat, yang akan memperburuk ketegangan di kawasan.
Pemerintah Yordania sudah menyusun rencana darurat menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk memutuskan hubungan damai dengan Israel atau bahkan menyatakan perang.
“Kami siap menghadapi segala kemungkinan untuk melindungi negara,” tegas salah seorang pejabat Yordania.
Raja Abdullah, yang memiliki hubungan erat dengan negara-negara besar seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, berupaya mendapatkan dukungan regional untuk menanggapi rencana Trump. Meskipun Yordania menerima sekitar Rp23,2 triliun dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi dari AS setiap tahunnya, tekanan ekonomi tidak akan mempengaruhi keputusan mereka.
Sementara itu, untuk memperkuat dukungan internasional, Yordania baru-baru ini menjalin kesepakatan kemitraan dengan Uni Eropa senilai Rp50 triliun. Yordania juga mulai melonggarkan pembatasan terhadap protes-protes yang digelar oleh kelompok oposisi Islamis, termasuk Muslim Brotherhood, yang mendukung Hamas.
Baca: PBB Tegur Trump soal Rencana AS Usir Warga Gaza
Menurut seorang pakar hubungan Yordania-Palestina, Lamis Andoni, Raja Abdullah harus tegas menolak rencana Trump demi menjaga kedaulatan dan stabilitas Yordania.
“Tidak ada pilihan bagi Raja Abdullah selain menolak rencana tersebut,” katanya.