Eksistensi Kecerdasan Spiritual Nabi di Tengah Gempuran AI

AI tidak akan pernah mampu menyentuh esensi terdalam kemanusiaan, yaitu ruh (jiwa) dan kesadaran ilahiah.
Ilustrasi SQ dan AI. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Dunia kontemporer kini berhadapan dengan kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini mampu meniru logika, bahasa, bahkan mengekspresikan respons emosional manusia.

Namun, AI tidak akan pernah mampu menyentuh esensi terdalam kemanusiaan, yaitu ruh (jiwa) dan kesadaran ilahiah.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali warisan Spiritual Quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual Nabi sebagai panduan utama menghadapi tantangan teknologi.

Baca: Mengapa AI Terlihat Sangat Cerdas? Ternyata Ini Rahasianya

Hakikat Nur Muhammad

Dalam kajian tasawuf, Rasulullah Saw dipandang sebagai al-Insan al-Kamil (manusia paripurna). Para sufi, seperti Syekh ‘Abd al-Karim Al-Jili dalam kitab Al-Insan al-Kamil, meyakini adanya hakikat ruhani Nabi yang disebut Nur Muhammad (cahaya Muhammad).

Konsep ini merujuk pada cahaya spiritual primordial yang menjadi asal mula segala ciptaan.

Al-Qur’an juga menggambarkan risalah Nabi sebagai cahaya pembawa petunjuk. Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا

“Wahai Nabi (Muhammad), sesungguhnya Kami mengutus engkau untuk menjadi saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya serta sebagai pelita yang menerangi.” (QS. Al-Ahzab: 45–46).

Fungsi profetik sebagai “cahaya yang menerangi” dipahami para sufi sebagai manifestasi lahiriah dari hakikat batiniah Nabi Saw yang luhur. Dari sinilah lahir kecerdasan spiritual Nabi, yang berfungsi menjaga keseimbangan hidup manusia.

Baca: Tafsir QS. Ar-Rahman Ayat 1-4: Kecerdasan AI vs Intelegensi Hakiki

Dimensi kecerdasan spiritual 

Kecerdasan spiritual Rasulullah Saw tercermin dalam seluruh aspek kehidupannya dan menjadi teladan umat manusia.

Pertama, kesadaran ilahiah. Setiap tindakan beliau dilandasi muraqabah (kesadaran selalu diawasi Allah Swt). Nabi Saw adalah perwujudan firman Allah Swt:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia berkuasa atas ʻArasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit, dan apa yang naik ke sana. Dia bersama kamu di mana pun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid: 4).

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum Al-Din menegaskan bahwa puncak ibadah adalah ihsan, yang Nabi Saw jelaskan dalam hadis Jibril:

أَنْ تَعْبـــُدَ اللَّهَ كَأَنَّــكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim).

Kedua, kasih sayang universal. Risalah Nabi Saw secara eksplisit ditegaskan dalam Al-Qur’an sebagai rahmat bagi seluruh alam:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).

Kasih sayang itu ditunjukkan Nabi tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada hewan, tumbuhan, dan alam semesta. Beliau bersabda:

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهمُ الرَّحمنُ، ارحَمُوا أهلَ الأرضِ يَرْحْمْكُم مَن في السّماء

“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi, niscaya Tuhan di langit akan menyayangi kalian.” (HR. Tirmidzi).

Ketiga, kebijaksanaan batin. Keputusan Nabi Saw lahir dari ketajaman batin, buah kedekatan dengan Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam Hadis Qudsi:

فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا

“Apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.” (HR. Bukhari).

Kebijaksanaan ilahiah semacam ini mustahil direplikasi algoritma.

Baca: Tafsir QS. Al-Anbiya Ayat 107: Maulid Nabi sebagai Rahmat Ekologis

AI dan potensi krisis ruhani

AI mampu meniru Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ), tetapi tidak memiliki ruh, nurani, maupun kesadaran ilahiah. Tanpa panduan spiritual, teknologi berpotensi menjerumuskan manusia ke dalam ghaflah (kelalaian dari mengingat Allah Swt), sebagaimana diperingatkan dalam Al-Qur’an:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ

“Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya…” (QS. Al-Kahf: 28).

Warisan kenabian tidak hanya berupa hukum formal, melainkan juga cahaya ruhani sebagai pelindung dari kegelapan zaman. Beberapa prinsip SQ Nabi Saw sangat relevan di era AI.

Prinsip pertama adalah Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa), salah satu misi utama Rasulullah Saw sebagaimana firman Allah Swt:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Dialah yang mengutus seorang Rasul (Nabi Muhammad) kepada kaum buta huruf dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan Kitab (Al-Qur’an) serta Hikmah (Sunah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2).

Prinsip kedua adalah adab dan akhlak. Misi utama kenabian dirangkum dalam sabdanya:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Baihaqi).

Akhlak mulia Nabi Saw bahkan dipuji langsung oleh Allah Swt:

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung.” (QS. Al-Qalam: 4).

Baca: AI adalah Masa Depan Dakwah Digital yang Efektif dan Personal

Prinsip terakhir adalah menjaga konektivitas spiritual di tengah arus digital melalui zikir dan selawat. Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اذْكُرُوا اللّٰهَ ذِكْرًا كَثِيْرًاۙ

“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan zikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzab: 41).

Allah Swt juga berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56).

Peringatan Maulid Nabi di era digital menjadi pengingat bahwa kemajuan lahiriah tanpa keseimbangan batin hanya melahirkan kehampaan. Warisan kecerdasan spiritual Nabi Muhammad Saw adalah benteng umat manusia. Hal ini menegaskan bahwa manusia selalu lebih unggul daripada ciptaannya, sebab manusia dianugerahi ruh, cinta, dan kesadaran untuk mengenal Tuhannya—sesuatu yang mustahil dikodekan ke dalam mesin secanggih apa pun.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.