Ikhbar.com: Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa Generasi Z (Gen Z) merupakan kelompok paling tidak bahagia dalam sejarah modern. Di tengah tren gaya hidup sehat dan kesadaran kesehatan mental yang terus digaungkan, justru anak muda yang lahir di era digital ini menghadapi krisis emosional yang mendalam.
Fakta tersebut diungkapkan penelitian bertajuk Global Flourishing Study. Survei yang dipimpin Profesor Arthur C. Brooks dari Harvard University ini melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara. Hasilnya menunjukkan bahwa Gen Z di berbagai belahan dunia merasakan tingkat kesepian yang tinggi serta kekosongan makna dalam hidup mereka.
Era digital tidak menjamin kebahagiaan
Meski hidup dalam dunia yang terkoneksi 24 jam melalui media sosial (medsos) dan teknologi canggih, banyak dari mereka justru merasa terasing. Prof. Brooks menegaskan bahwa penyebab utama bukanlah teknologi itu sendiri, melainkan ketergantungan pada interaksi digital yang menggantikan hubungan manusia secara langsung.
Baca: Survei Ungkap Gen Z Indonesia Paling Sering ‘Ngecek’ HP, Sehari Bisa 82 Kali
“Percakapan hangat dalam keluarga kini digantikan oleh chat singkat dan komentar di media sosial. Ini bukan hanya mengikis ikatan sosial, tapi juga meruntuhkan rasa percaya diri,” ujar Prof. Brooks.
Ia menambahkan, relasi yang dibangun lewat layar tidak sebanding dengan interaksi tatap muka yang penuh keaslian. Menariknya, mereka yang berhasil mengurangi waktu di media sosial dan memperbanyak interaksi nyata justru melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Kemapanan finansial tak menjamin rasa bahagia
Penelitian ini juga menyebut bahwa meningkatnya penghasilan seseorang tidak sejalan dengan meningkatnya rasa memiliki tujuan hidup. Kekayaan materi, ternyata, tidak serta-merta menghadirkan ketenangan jiwa.
Fenomena ini diperparah dengan menurunnya minat terhadap agama dan spiritualitas di sejumlah negara. Akibatnya, banyak individu yang akhirnya mencari makna hidup melalui konsumerisme dan pencapaian yang sifatnya dangkal.
“Tanpa arah hidup yang jelas, kebahagiaan hanya sebatas fatamorgana,” kata Prof. Brooks.
Tiga solusi atasi krisis emosional Gen Z
Untuk membantu Gen Z keluar dari jebakan kekosongan batin ini, Brooks menyarankan tiga langkah penting:
1. Bangun kembali hubungan nyata: Waktu berkualitas dengan keluarga dan teman harus menjadi prioritas.
2. Pelihara kehidupan spiritual: Entah lewat agama atau bentuk lain dari pencarian makna, kehidupan batin perlu diberi ruang.
3. Tinjau ulang makna kesuksesan: Sukses bukan soal jumlah harta, tapi soal ketenangan batin dan rasa cukup.
Bukan manja, hanya ingin dimengerti
Gen Z kerap kali mendapat cap negatif sebagai generasi lemah atau manja. Namun sesungguhnya, mereka adalah generasi yang hidup dalam tekanan zaman yang sangat cepat, penuh ekspektasi, tapi miskin koneksi yang bermakna.
Mereka dibesarkan dengan segala kemudahan teknologi, namun tak mendapat cukup ruang untuk merasa terhubung secara emosional. Followers, likes, dan barang-barang mewah tak mampu menggantikan perasaan dicintai dan dimengerti.
UnionRayo.com dalam laporannya menulis, “Manusia tidak diciptakan untuk hidup dalam kesepian, atau menggantikan makna hidup dengan notifikasi dan belanja online.”
Dalam laporannya itu mereka mengajak masyarakat untuk kembali ke akar kehidupan sosial yang sejati, yakni hubungan yang jujur, empati, dan perhatian tulus antarsesama.