Ikhbar.com: Menteri Agama (Menag) Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar menepis anggapan bahwa peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharam adalah praktik bid’ah. Ia menegaskan, momentum ini justru merupakan ajakan untuk kembali melakukan refleksi spiritual dan menyucikan diri secara lahir maupun batin.
Pernyataan tersebut disampaikan Menag saat membuka acara Ngaji Budaya yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) di Auditorium HM Rasjidi, Jakarta, pada Senin, 23 Juni 2025. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian program Peaceful Muharram dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1447 H.
Dengan mengangkat tema “Tradisi Muharram di Nusantara: Pesan Ekoteologi dalam Perspektif Kearifan Lokal”, Menag menekankan bahwa peringatan Muharam bukan sekadar seremoni, tetapi juga medium untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian dan spiritualitas.
Baca: Kemenag Sambut 1 Muharam 1447 H dengan Beragam Kegiatan, Ini Daftarnya!
“Tidak benar kalau peringatan 1 Muharam dikaitkan dengan bid’ah. Justru jika kita memahami konsep ekoteologi dengan baik, kita akan sadar bahwa ajarannya sangat dekat dengan tauhid dan jauh dari kemusyrikan,” ujarnya dikutip dari laman Kemenag pada Selasa, 24 Juni 2025.
Menag menjelaskan, Muharam memiliki pesan moral yang dalam. Dalam konteks sejarah Islam, bulan ini adalah waktu saat peperangan dilarang dan konflik harus dihindari. Maka, semangatnya adalah kedamaian, perenungan, dan penyucian hati.
“Ekoteologi mengajarkan kita untuk menghormati waktu dan ruang sebagai ciptaan Tuhan. Peringatan Muharam menjadi saat yang tepat untuk mempertajam hati nurani, bukan hanya akal semata,” kata Menag.
Ia juga menyoroti pentingnya sikap rendah hati dan kesederhanaan dalam menjalani tradisi keagamaan. Dalam acara tersebut, para peserta duduk bersila di lantai tanpa kursi sebagai simbol kerendahan hati dan refleksi batin.
“Kadang akal kita tajam, tapi batin kita tumpul. Duduk bersama tanpa batas simbolik seperti kursi menjadi terapi simbolik untuk menggugah kesadaran jiwa,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Menag mengajak masyarakat untuk memahami ekoteologi sebagai pendekatan yang menghubungkan manusia, alam, dan Tuhan dalam satu kesatuan yang harmonis. Ia mendorong masyarakat untuk lebih mencintai lingkungan sebagai bentuk kecintaan kepada Sang Pencipta.
“Cinta sejati terhadap alam tak hanya berhenti pada bunga yang mekar, tapi juga pada bunga yang layu dan gugur. Semua fase kehidupan punya nilai dalam pandangan ekoteologi,” pungkas Menag.