Ikhbar.com: Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir mengatakan, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak harus untung.
“Penentuan BPIH harus berdasarkan kemaslahatan dan keadilan dua belah pihak. Tidak merugikan negara dan tidak merugikan calon jemaah. Bagaimana jemaah tidak diberatkan dan bagaimana negara tidak rugi,” katanya sebagaimana dilansir dari laman Kemenag.
Menurut Kiai Afifuddin, haji hanya wajib bagi orang yang memiliki kemampuan membayar secara sempurna Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang ditetapkan pemerintah. Namun, penetapan BPIH harus atas dasar keadilan bagi kedua pihak, pemerintah dan jemaah.
Kiai yang juga wakil pengasuh Salafiyah Syafi’iyyah Situbondo menjelaskan bahwa jika BPIH dikelola, maka harus ada pembagian keuntungan.
Bisa saja, kata Kiai Afifuddin, pemerintah membuat kebijakan dengan menerima setoran pembayaran yang tidak sepenuhnya dari jemaah.
Misalnya, lanjut Kiai Afifuddin, jika BPIH 100juta, negara punya toleransi jemaah menyetor sebagian (sekian prosen) dari jumlah itu.
“Yang penting jangan terlalu kecil. Dasarnya kesepakatan dan keadilan negara. Pada dasarnya, negara tidak punya kewajiban mensubsidi jemaah. Yang penting, pemerintah memberi kemudahan kepada jemaah agar bisa berhaji dengan baik,” ucapnya saat menjadi pembicara dalam acara Mudzakarah Perhajian Indonesia 2022 oleh Kemenag pada, Senin, (28/11/2022) di Situbondo.
Terkait istithaah, Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa itu didefinisikan sebagai orang yang memiliki segala yang dibutuhkan untuk perjalanan haji dan itu lebih dari yang dibutuhkan untuk nafkah keluarga yang menjadi tanggungannya. Jemaah tersebut juga tidak punya utang, baik kepada Allah maupun manusia.
“Ada orang berangkat haji meninggalkan utang. Padahal sebelum berangkat haji, harusnya utang dilunasi dulu. Sekarang banyak orang haji dengan berutang, meski hajinya tetap sah. Salah satu bentuk utang adalah dana talangan haji,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Kiai Afifuddin menggarisbawahi pentingnya mendistribusikan nilai manfaat dana haji secara proporsional. Hal itu didasarkan pada kemaslahatan dan keadilan.
Sementara itu, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Dr Abdul Moqsith Ghozali mengatakan, kewajiban berhaji adalah kewajiban individual.
Menurutnya, pemerintah bertugas sebagai fasilitator, sementara kehadiran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) membantu meringankan jemaah agar tidak terlalu mahal.
Sehubungan dengan kenaikan biaya haji yang sangat signifikan pada 2022, Moqsith memandang perlunya menaikkan biaya haji secara bertahap. Hal itu penting dilakukan demi keberlangsungan pembiayaan ibadah haji.
Menurutnya, tahun 2022, rata-rata biaya haji mencapai 97,7juta, sementara yang dibayar jemaah pada kisaran 39,8juta. Sisanya diambilkan dari nilai manfaat dana optimalisasi. “Jika pola ini dipertahankan, nilai manfaat dana optimalisasi haji bisa habis pada 2027,” terangnya.
“Usul, kenaikan biaya haji dilakukan secara bertahap,” tandasnya.