Ikhbar.com: Ribuan pengungsi Rohingya dari kamp-kamp di Bangladesh telah direkrut junta militer Myanmar, untuk berperang melawan Angkatan Bersenjata Arakan.
Tawaran berupa pelatihan militer, senjata, hingga dokumen kewarganegaraan Myanmar menjadi daya tarik bagi para pengungsi, yang telah lama hidup tanpa harapan di kamp-kamp yang penuh kekerasan dan kemiskinan.
Seorang pengungsi berusia 32 tahun bernama Rafiq, melarikan diri dari kamp pengungsi di Cox’s Bazar. Dia melintasi perbatasan untuk bertempur di tanah yang dulu menjadi rumahnya.
Baca: Rasisme di India, Warga Muslim kerap Difitnah sebagai Penyusup dari Bangladesh
Namun, seperti banyak pejuang lainnya, ia kembali ke Bangladesh setelah terluka dalam pertempuran.
“Kami harus berjuang untuk mendapatkan kembali tanah kami,” ujarnya, dikutip dari Reuters, pada Senin, 25 November 2024.
Rohingya adalah salah satu kelompok tanpa negara terbesar di dunia. Mereka dipaksa meninggalkan Myanmar sejak kampanye genosida militer pada 2016.
Situasi mereka semakin memburuk setelah kudeta militer Myanmar pada 2021, yang memperburuk konflik di wilayah tersebut.
Saat ini, antara 3.000 hingga 5.000 pengungsi Rohingya dilaporkan telah bergabung dalam konflik, dan seringkali melawan kelompok seperti Angkatan Bersenjata Arakan, yang mendominasi wilayah Rakhine.
Kondisi di kamp pengungsi Bangladesh mendorong keputusan ekstrem ini. Kekerasan, ketidakamanan, dan kemiskinan menciptakan lingkungan yang hampir tak tertahankan.
Sekitar 30.000 anak lahir setiap tahun di tengah situasi yang serba kekurangan, sementara kesempatan kerja dan pendidikan hampir tidak ada.
Baca: Batas-batas Menyikapi Pengungsi menurut Islam
Bagi banyak Rohingya, rekrutmen ini tampak sebagai jalan keluar dari keputusasaan, meski risikonya tinggi.
Namun, keberadaan kelompok bersenjata ini memunculkan kekhawatiran di Bangladesh, baik karena potensi ancaman keamanan, maupun meningkatnya kekerasan di kamp.