Ikhbar.com: Kondisi politik global yang memanas tak pelak menghadirkan persoalan banyaknya pengungsi yang melarikan diri dari negaranya demi mendapatkan keselamatan. Konflik dan perang yang terjadi di Ukraina, Gaza, Myanmar, dan lainnya menjadikan kian banyaknya warga pencari suaka yang bertebaran ke berbagai belahan dunia.
Konflik diskriminasi etnis di Myanmar, misalnya, telah mengakibatkan ribuan warga dari Suku Rohingya nekat berlayar dan mengungsi hingga mendarat ke sejumlah pantai di Provinsi Aceh. Fenomena yang memuncak sejak November 2023 lalu itu pada akhirnya justru melahirkan perdebatan di antara warga lokal Indonesia.
Baca: Jaminan Keselamatan Tawanan Perang dalam Islam
Pengungsi menurut Islam
Pada dasarnya, umat Muslim sangat dianjurkan untuk memberikan perlindungan kepada para pengungsi yang datang meminta bantuan. Pangkal perintah ini bertumpu pada penghormatan Islam terhadap hak asasi manusia (HAM).
Dalam QS. Al-Isra: 70, Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Ada sejumlah kata dalam Bahasa Arab yang lazim digunakan untuk merujuk isu pengungsian. Mengacu kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzur, dikenal kata “istijara” yang bermakna permohonan perlindungan. Atau kata “laja’a” yang berarti, “resor atau jalan lain untuk … baik ke sesuatu atau ke suatu tempat.” Sedangkan kata “luju” dibentuk untuk makna “mencari perlindungan.”
Lafal berikutnya adalah “laaji,” yang dalam Bahasa Inggris setara dengan kata “refugee” yang bermakna pengungsi atau pencari suaka. Meski begitu, Islam lebih mengadopsi penyebutan mereka dengan nama “mustakmin” yang berasal dari kata “aman,” sebuah hakikat dari tujuan yang ingin dicapai para pencari suaka.
Syariat Islam memiliki prinsip dan peraturan yang bisa digunakan untuk para pencari suaka atau pengungsi. Secara prinsip, fikih memberikan penawaran perlindungan kepada mustakmin, baik dari mereka yang beragama Islam maupun bukan.
Bahkan, secara lebih khusus, Al-Qur’an menyebutkan hukum menawarkan suaka atau perlindungan kepada para pengungsi non-Muslim. Dalam QS. At-Taubah: 6, Allah Swt berfirman:
وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ
“Jika seseorang di antara orang-orang musyrik ada yang meminta pelindungan kepada engkau (Nabi Muhammad), lindungilah dia supaya dapat mendengar firman Allah kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.”
Islam tidak membedakan antara proses pencarian suaka dengan sekadar migrasi internasional. Sebab, Islam menganggap keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengupayakan perlindungan setelah melarikan diri dari penganiayaan, ketidakadilan, kemiskinan, penyakit, dan bahaya lainnya.
Mengenai hal ini, Syekh Ahmed Abul Wafa, dalam Kitab al I`lam bi Qawaid Al-Qanun al-Dawli wal Alaqat al-Dawliyah fi Shari’at al-Islam menyebutkan sejumlah kata dalam Bahasa Arab yang juga memiliki hubungan dalam persoalan ini di antaranya adalah “haqul-malja” (hak suaka) yang juga memiliki makna senada dengan lafaz “al-hijrah” (migrasi). Hal itu merujuk pada QS. Al-Hasyr: 9. Allah Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
“Orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntun.”
Pada ayat tersebut terdapat kalimat “hajara ilaihim” (melarikan diri kepada mereka) yang maknanya disamakan dengan mencari suaka, sebagaimana yang juga dianut dalam hukum internasional. Namun, dalam kondisi tertentu, Islam tetap mengakui adanya perbedaan-perbedaan motif yang pada akhirnya akan berpengaruh pada sikap penerimaan kepada para pengungsi.
Baca: #JulidFiSabilillah, Bolehkah ‘Nyinyir’ Disetarakan dengan Jihad?
Bergantung motif dan tujuan
Dalam Majmu’at al-Fawaid al-Bahiyyah ala Manzhumat al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Syekh Abu Muhammad Salih bin Muhammad bin Hassan Al-Umari Al-Qahtani menyebutkan adanya prinsip umum “Al-hukm yadurru ma’a ilatihi nafyan wa ithbaatan” (Negara hukum terikat pada ilat atau penyebab baik melalui tindakan negatif atau positif). Artinya, aturan dalam hukum Islam akan sangat bergantung pada sebab dan faktor yang berdasarkan perilaku maupun tindakan.
Lebih jelasnya, dalam menentukan validitas atau legalitas dari suatu perilaku, hukum Islam sangat mementingkan penyebab yang mengarah pada tindakan tersebut, yang menjadi faktor penting dalam menentukan hukum yang berlaku. Hal ini juga didasarkan pada kaidah “Iza wujidat al-ilat, wujida al-hukm” (Negara hukum ada dengan keberadaan ilat dan dihilangkan dengan penghapusannya.
Menerapkan yurisprudensi dengan mempertimbangkan motif ini juga didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Umar, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Semua perbuatan tergantung pada niat, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barang siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, jika pengungsian yang dilakukan seseorang bertujuan untuk melestarikan jiwa, maka upaya ini termasuk dengan apa yang ditanggung dalam hukum Islam. Artinya, seseorang Muslim wajib menerima dan memberikan mereka perlindungan. Tetapi jika proses pencarian suaka itu dilandasi dengan faktor lain, misalnya menuntut agar mendapatkan fasilitas atau kemewahan lebih, bahkan merugikan dan membahayakan penduduk lokal, maka hal penerimaan terhadap mereka sudah tidak lagi berada dalam wilayah yang dianjurkan syariat Islam.