Ikhbar.com: Fitnah terhadap warga Muslim sebagai penyusup asal Bangladesh terus mencuat di negara bagian Jharkhand, India. Tuduhan ini disuarakan oleh Partai Bharatiya Janata (BJP), yang saat ini berupaya merebut kendali dari koalisi oposisi yang dipimpin Jharkhand Mukti Morcha (JMM) dalam pemilu dua putaran yang berlangsung sejak 13 November 2024.
Seorang petani Muslim berusia 46 tahun dari Desa Bada Sanakad, Jharkhand, Abdul Gafur menyampaikan kekesalannya terhadap narasi tersebut.
“Siapa yang menyebut kami penyusup dari Bangladesh? Kami adalah warga negara India yang sah. Generasi kami telah hidup dan mati di tanah ini. Jangan menghina leluhur kami dengan tuduhan seperti itu,” ujarnya dengan tegas, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Sabtu, 23 November 2024.
Baca: Mengagumi Masa Kejayaan Islam di India lewat Warisan Mughal
Wilayah Santhal Pargana, yang mencakup distrik Pakur, Godda, Deoghar, Dumka, Jamtara, dan Sahibganj menjadi fokus BJP dalam upayanya memengaruhi hasil pemilu. Kawasan ini memiliki 18 kursi dari total 81 kursi di majelis negara bagian dan dihuni oleh kelompok suku dan Muslim yang selama ini mendukung partai-partai anti-BJP.
Menurut sensus 2011, suku-suku di Jharkhand menyumbang 26,2% populasi, sementara Muslim mencapai 14,5%, menjadikan keduanya sekitar 41% dari total penduduk 32 juta jiwa di negara bagian tersebut. Pola pemungutan suara inilah yang ditargetkan BJP dengan memainkan isu penyusup Muslim.
Pada pemilu 2019, BJP hanya memenangkan empat dari 18 kursi di Santhal Pargana. Bahkan dalam pemilu parlemen yang digelar sebelumnya, partai ini hanya berhasil memenangkan satu dari tiga kursi yang ada di kawasan tersebut.
Tuduhan terhadap Muslim sebagai penyusup dari Bangladesh bukanlah hal baru. Sejak Narendra Modi berkuasa pada 2014 dengan agenda mayoritas Hindu, isu ini terus digaungkan. Tuduhan tersebut pertama kali diarahkan kepada pengungsi Rohingya yang mayoritas Muslim, lalu meluas menjadi stigma terhadap Muslim di wilayah timur laut India, terutama di negara bagian Assam.
Assam, yang memiliki populasi Muslim sekitar sepertiga dari total penduduk, menjadi ajang kampanye BJP selama bertahun-tahun. Partai ini menuding bahwa Muslim masuk secara ilegal dari Bangladesh, mengubah demografi, dan merebut lahan serta pekerjaan. Kampanye xenofobia ini semakin intensif sejak BJP memimpin Assam pada 2016, yang berujung pada penahanan ribuan Muslim dan penghapusan hak pilih mereka.
Kini, kekhawatiran muncul bahwa politik serupa akan diterapkan di Jharkhand. BJP bahkan menunjuk Himanta Biswa Sarma, Ketua Menteri Assam yang dikenal dengan retorika keras terhadap Muslim, sebagai koordinator pemilu di Jharkhand. Dalam sejumlah kampanye, Sarma berjanji akan mengidentifikasi penyusup dan mendeportasi mereka ke Bangladesh. Ia juga menjanjikan penerapan Daftar Warga Negara (NRC) yang kontroversial di Jharkhand jika BJP menang.
NRC, yang pertama kali diperintahkan Mahkamah Agung India pada 2013, bertujuan mengidentifikasi imigran tanpa dokumen. Di Assam, hampir dua juta orang dikeluarkan dari daftar kewarganegaraan pada 2019, termasuk sekitar setengahnya yang beragama Hindu.
Program ini kerap dianggap sebagai pendukung Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA), yang dipandang bias terhadap Muslim. CAA mempercepat pemberian kewarganegaraan bagi non-Muslim yang teraniaya dari negara tetangga seperti Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan, asalkan mereka tiba sebelum 31 Desember 2014.
Namun, menurut seorang pengacara di Jharkhand, Shadab Ansari kampanye ini tidak relevan di negara bagian yang didominasi suku-suku.
“Tidak ada bukti bahwa Muslim di sini adalah penyusup. Mereka telah tinggal di wilayah ini selama beberapa generasi,” ujarnya.
Baca: Demi Cuan, Facebook dan Instagram Dinilai Sengaja Loloskan Iklan Anti-Muslim di India
Isu penyusup kembali menjadi sorotan setelah BJP merilis video berdurasi 53 detik yang menunjukkan sekelompok Muslim mengenakan kopiah dan burqa secara paksa memasuki rumah seorang pendukung JMM. Dalam video tersebut, kelompok ini digambarkan menguasai rumah, mengotori perabotan, dan membuat penghuni asli tersudut.
Video tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk JMM yang mengajukan pengaduan ke Komisi Pemilu India. Meski BJP akhirnya menghapus video tersebut atas perintah komisi, kontennya telah menyebar luas di media sosial.
“Kami tidak bermaksud melukai perasaan siapa pun. Video itu hanya menggambarkan betapa mengerikannya situasi jika penyusup masuk secara paksa,” ujar juru bicara BJP, Pratul Shahdev.
Gafur dan warga Muslim lainnya di Santhal Pargana menegaskan bahwa mereka memiliki dokumen kepemilikan tanah yang sudah ada sejak 1932.
“Bangladesh baru terbentuk pada 1971, sedangkan leluhur kami sudah tinggal di sini jauh sebelum India merdeka,” katanya.
Wakil Ansari, warga lainnya, menyayangkan politik sektarian yang dimainkan partai-partai besar.
“Kami butuh pengembangan wilayah, bukan retorika kebencian. Masalah utama kami adalah pertanian yang bergantung pada hujan, kurangnya pendidikan berkualitas, dan terbatasnya lapangan kerja,” ujarnya.
Selain Muslim, kelompok Kristen di Jharkhand juga menjadi sasaran. Menurut laporan United Christian Forum, terdapat 27 insiden kekerasan terhadap komunitas Kristen di Jharkhand sepanjang tahun ini, dari total 585 insiden di seluruh India.
“Polarisasi berbasis agama demi kepentingan politik tidak hanya merusak harmoni sosial, tetapi juga merugikan masa depan negara,” ujar koordinator United Christian Forum, AC Michael Williams.