Hukum Tawaf bagi Jemaah Haji yang Haid

Ilustrasi tawaf wada (tawaf perpisahan). Foto: Twitter/@ReasahAlharmain

Ikhbar.com: Mustasyar Diniy Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, KH Abdul Moqsith Ghazali menyebut bahwa prosesi wukuf haji tetap sah meski sedang haid. Meski demikian, ia menggaris bawahi bahwa tawaf Ifadah harus dilakukan dalam keadaan suci.

“Wukuf sah meski dalam keadaan haid. Tapi untuk tawaf Ifadah, wajib dalam keadaan suci,” ujar Kiai Moqsith dikutip dari laman Kemenag pada Senin, 19 Mei 2025.

Menurutnya, tawaf Ifadah merupakan satu-satunya rukun haji yang mensyaratkan kondisi suci dari hadas besar seperti haid. Maka, jemaah perempuan yang masih mengalami haid wajib menunggu hingga bersih sebelum melaksanakan tawaf Ifadah.

Namun bagaimana jika masa kepulangan ke Tanah Air telah tiba sementara haid belum selesai? Dalam kondisi darurat semacam ini, sebagian ulama membolehkan alternatif. Salah satunya datang dari Sayid Muhammad Alawi Almaliki Almakkiyah, yang memperbolehkan perempuan haid bertawaf dengan ketentuan ketat.

Baca: PPIH Atur Penggabungan Pasangan Jemaah Haji yang Terpisah di Makkah

“Jika jemaah sudah harus kembali ke Indonesia namun belum bisa tawaf Ifadah karena haid, maka ia dapat mandi hingga bersih, lalu membalutnya dengan rapi agar darah tidak menetes di area tawaf dan Masjidil Haram,” jelasnya.

Ia menambahkan, sistem keberangkatan dan kepulangan jemaah haji sudah ditetapkan pemerintah, sehingga tidak fleksibel.

“Karena kepulangan sudah dijadwalkan, sementara ia belum Tahallul secara sempurna akibat belum tawaf Ifadah, maka solusi itu bisa diambil,” tegasnya.

Situasi serupa juga berlaku saat jemaah perempuan berangkat dari Madinah menuju Makkah. Mereka diperbolehkan berniat umrah wajib dari Bir Ali meskipun sedang haid. Namun saat tiba di Makkah, mereka harus menunggu hingga suci untuk melaksanakan tawaf dan sa’i, dengan tetap menjaga ketentuan ihram.
Selain masalah haid, ada pula persoalan wudu yang wajib dijaga selama tawaf.

Dalam kondisi padat dan sering bersenggolan dengan lawan jenis yang bukan mahram, banyak jemaah khawatir wudunya batal. Untuk mengantisipasi ini, jemaah bisa mengikuti pendapat Imam Hanafi yang tidak membatalkan wudhu hanya karena sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan non-mahram, berbeda dengan mazhab Syafi’i.

“Berbeda dari salat yang tak boleh diselingi bicara, makan, atau minum, dalam tawaf hal itu diperbolehkan. Tawaf lebih fleksibel,” terang Moqsith.

Ia juga menekankan bahwa selama ihram dan tawaf, perempuan tidak diperkenankan menutup wajah dengan cadar. Hal ini merujuk pada ketentuan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat perempuan dalam kondisi ihram.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.