Gen Z Cina Sebut Diri ‘Manusia Tikus’, Apa Maksudnya?

Ilustrasi Gen Z Cina yang menyebut dirinya sebagai 'manusia tikus'. Foto: Olh Digital IKHBAR

Ikhbar.com: Fenomena “manusia tikus” tengah mencuat di kalangan generasi muda di Cina, khususnya dari Generasi Z (Gen Z). Istilah ini tengah ramai digunakan di media sosial (medsos) sebagai simbol gaya hidup alternatif yang menolak tuntutan kesuksesan dan produktivitas ekstrem.

Sebutan “manusia tikus” muncul dari video yang viral di platform digital pada akhir Februari 2025. Dalam tayangan tersebut, seorang perempuan muda asal Zhejiang membagikan kesehariannya yang penuh kemalasan dan minim interaksi sosial.

Aktivitas hariannya hanya tidur, rebahan, mencuci muka, lalu kembali tidur. Ia bahkan mengaku tidak makan hingga malam tiba, dan baru bergerak membongkar barang setelah tengah malam, tanpa sempat mandi hingga pukul 2 pagi.

Unggahan itu mendapat respons luar biasa, dengan lebih dari 400.000 likes. Banyak warganet merasa terwakili oleh konten tersebut, menyebutnya sebagai potret paling jujur dari realitas anak muda saat ini.

Baca: Gen Z Lebih Pilih Cari Info di TikTok Dibanding Google

“Kami lelah dengan gaya hidup cepat dan tekanan untuk selalu produktif. Kami hanya ingin bebas beristirahat kapan saja,” tulis salah satu komentar yang disukai ribuan orang.

Istilah ini kini menjadi semacam penerus dari gerakan “lying flat” alias berbaring datar yang sempat tren beberapa waktu lalu. Jika gerakan sebelumnya menolak kerja keras demi ambisi, maka “manusia tikus” adalah bentuk ekstrem dari pasrah pada kehidupan yang stagnan dan serba minimal.

Salah satu sosok yang menjadi perhatian adalah Li Mei (nama samaran), perempuan 24 tahun lulusan universitas yang memilih untuk menjalani kehidupan tanpa arah. Ia tinggal di kamar sempit, tak mandi selama berhari-hari, dan hidup dikelilingi sampah makanan instan. Meski begitu, ia tidak merasa malu.

“Saya tidak berpura-pura masih berjuang. Saya memang sudah menyerah,” ujarnya.

Li Mei menyebut keputusan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem sosial di Cina yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras, menikah, membeli rumah, dan mengejar stabilitas.

Ia mempertanyakan hasil dari kerja keras ibunya yang tetap hidup dalam keterbatasan meski bekerja lebih dari 70 jam per minggu.

Simbol kekecewaan

Fenomena ini menjadi fokus studi sejumlah akademisi di Asia. Seorang profesor pensiunan dari Universitas Malaysia menyatakan bahwa istilah “manusia tikus” bukan sekadar soal kemalasan, melainkan bentuk kekecewaan mendalam terhadap sistem sosial dan ekonomi.

“Kontrak sosial di Cina adalah kerja keras akan membuahkan hasil. Tapi kenyataannya, tidak semua anak muda melihat masa depan dari kerja keras itu,” tulisnya dalam kajian yang dimuat di jurnal regional.

Sebagian besar Gen Z yang terlibat dalam tren ini berasal dari keluarga menengah yang mampu menopang gaya hidup minim ambisi. Banyak dari mereka menggantungkan hidup pada orangtua, mengambil pekerjaan lepas sesekali, atau menjual barang bekas secara daring untuk bertahan hidup.

Meski tren ini dianggap mengkhawatirkan oleh generasi tua, para pelaku merasa apa yang mereka lakukan adalah bentuk kejujuran dan perlawanan terhadap tekanan hidup yang dirasa tak masuk akal.

“Orangtuaku selalu marah, tapi mereka tetap memberiku makan. Mereka punya dua apartemen di Shanghai, jadi aku tak perlu khawatir. Aku tidak kaya, tapi cukup sadar bahwa kerja keras kadang tidak berarti apa-apa,” ujar seorang pemuda 25 tahun.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.