Ikhbar.com: Rasisme menjadi topik yang terus menjadi sorotan dunia, terutama di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Kedua negara yang sering mengeklaim sebagai simbol demokrasi dan kesetaraan itu ternyata tidak benar-benar sesuai kenyataan.
Survei terbaru yang dirilis The Guardian justru mengungkap fakta yang bertolak belakang dengan narasi yang sering mereka banggakan.
Menurut survei tersebut, sebanyak 68% warga AS percaya bahwa diskriminasi rasial masih menjadi masalah serius di negara mereka. Angka ini meningkat dibandingkan lima tahun lalu, ketika hanya 57% yang memiliki pandangan serupa.
“Di Inggris, situasinya tidak jauh berbeda, dengan 62 persen masyarakat merasa bahwa diskriminasi berbasis warna kulit atau etnis masih sering terjadi, baik secara langsung maupun tidak langsung,” rilis hasil survei tersebut, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Ahad, 19 Januari 2025.
Baca: Perlawanan Rasulullah terhadap Rasisme
Laporan tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi rasial terjadi di berbagai bidang kehidupan, mulai dari tempat kerja, pendidikan, hingga layanan publik. Contohnya, di AS, warga kulit hitam dan Hispanik sering kali menghadapi kesulitan saat melamar pekerjaan.
Sebuah studi pada 2023 juga menemukan bahwa pelamar dengan nama yang terkesan “non-kulit putih” memiliki peluang lebih kecil untuk dipanggil wawancara dibandingkan mereka yang namanya terdengar “lebih Eropa.”
Di Inggris, ketimpangan ini juga terlihat jelas dalam sektor pendidikan. Data dari National Education Union menunjukkan bahwa siswa dari komunitas kulit hitam dan Asia kerap mendapatkan perlakuan bias dari guru, yang memengaruhi penilaian mereka. Hal ini berdampak pada rendahnya angka kelulusan dan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas di kelompok minoritas.
Salah satu isu yang paling mencolok adalah ketidakadilan dalam sistem hukum. Di AS, orang kulit hitam tiga kali lebih mungkin menjadi korban kekerasan polisi dibandingkan orang kulit putih. Data dari Mapping Police Violence pada 2023 mencatat bahwa meski orang kulit hitam hanya sekitar 13% dari total populasi, mereka menyumbang 26% dari jumlah korban tewas akibat kekerasan polisi.
Baca: Rasisme Israel, tak Beri Tempat untuk Yahudi Kulit Hitam
Di Inggris, angka menunjukkan bahwa polisi lebih sering menghentikan dan menggeledah warga kulit hitam dibandingkan warga kulit putih. Meski kebijakan ini diklaim untuk menjaga keamanan, laporan dari Independent Office for Police Conduct menyebutkan bahwa praktik tersebut sering kali tidak adil dan tidak berdasarkan data kriminal yang jelas.
Meskipun bukti rasisme semakin jelas, pemerintah di kedua negara cenderung menyangkal adanya masalah sistemik. Pada 2021, pemerintah Inggris merilis laporan resmi yang menyatakan bahwa negara tersebut tidak lagi memiliki masalah rasisme struktural. Namun, laporan itu menuai kritik tajam dari berbagai organisasi hak asasi manusia (HAM), yang menyebutnya sebagai upaya untuk menutupi kenyataan.
Di AS, retorika yang sama juga sering terdengar. Beberapa pejabat publik mengklaim bahwa hukum dan kebijakan di negara tersebut sudah cukup adil. Namun, survei dan data lapangan membantah klaim itu, menunjukkan bahwa rasisme masih tertanam dalam berbagai kebijakan publik.
Baca: Konflik Gaza Bongkar Kedok Kebebasan Ekspresi di Barat
Di tengah situasi ini, masyarakat terus berjuang melawan ketidakadilan. Gerakan seperti Black Lives Matter (BLM) di AS pun telah menjadi simbol perlawanan terhadap rasisme. Mereka tidak hanya menggelar aksi protes, tetapi juga mendorong reformasi kebijakan, seperti penghapusan anggaran besar untuk kepolisian yang dinilai sering bertindak diskriminatif.
Di Inggris, kampanye-kampanye seperti “Stop and Search Reform” juga mulai menunjukkan hasil. Beberapa wilayah kini memberlakukan aturan yang lebih ketat untuk meminimalkan penyalahgunaan wewenang oleh polisi.