Ikhbar.com: Sejumlah pasangan kontestan Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia 2024 berkomitmen memberikan insentif kepada guru mengaji dan pelaku kegiatan keagamaan lainnya, jika mereka terpilih. Janji politik ini muncul sebagai respons terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan guru ngaji. Pasalnya, profesi tersebut belum dicakup dalam alokasi anggaran RAPBN 2024 yang telah memperhitungkan dana untuk guru non-PNS.
Bisyarah alias insentif untuk guru ngaji, khatib, imam, dan ahli hikmah yang merukiah diperbolehkan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:
Baca: Debat Capres dalam Pandangan Islam
عن ابن أبي مليكة عن عبد الله بن عباس أن نفراً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا بماء فيهم لديغٌ – أو سليم فعرض لهم رجلٌ من أهل الماء فقال هل منكم من راقٍ فإن في الماء رجلاً لديغاً أو سليماً فانطلق رجلٌ منهم فقرأ بفاتحة الكتاب على شاء فبرأ فجاء بالشاء إلى أصحابه فكرهوا ذلك وقالوا أخذت على كتاب الله أجراً حتى قدموا المدينة فقالوا يا رسول الله أخذ على كتاب الله أجراً فقال رسول الله {صلى الله عليه وسلم} إن أحق ما أخذتم عليه أجراً كتاب الله
“Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah Saw melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air yang salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca surat Al-Fatihah dengan upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah Saw enggan menerimanya. Setibanya di Madinah ereka berkata, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah?’. Tiba di Madinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Qur’an.’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah.”
Kisah tersebut mengafirmasi bahwa aktivitas yang berkaitan dengan kitab Allah, seperti mengajar Al-Qur’an, menyembuhkan orang sakit, dan lain-lain, berhak untuk menerima upah.
Baca: Tafsir QS. Al-Kahfi Ayat 66-70: Adab Murid terhadap Guru
Namun, ulama fikih kontemporer asal Syria, Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Subulul Istifadah min an-Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah menjelaskan, dalam perkembangannya, pendapat mengenai kebolehan guru ngaji menerima upah mengalami perubahan.
أفتى المتأخرون من العلماء بجواز أخذ الأجرة على تعليم القرآن الكريم وعلى وظائف الإمامة والخطابة والأذان وسائر الطاعات من صلاة وصيام وحج وهو حكم خولف فيه ما كان مقررا سابقا بين العلماء ومنهم أئمة الحنفية وغيرهم نظرا لتغير الزمان وانقطاع عطاءات المعلمين والقائمين بالشعائر الدينية من بيت المال. فلو اشتغل بالاكتساب من زراعة أو تجارة أو صناعة لزم ضياع القرآن إهمال تلك الشعائر
“Ulama mutaakhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Qur’an, tugas keimaman salat, tugas khotbah, tugas azan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti salat, puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya baitulmal (anggaran negara) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar keagamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai.”
Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa perhatian akan kesejahteraan guru ngaji, dengan memberikan upah yang layak adalah boleh, bahkan penting untuk diupayakan guna menjamin kualitas pendidikan agama.