Kadar Konsekuensi ‘Lupa’ dalam Ubudiyah dan Muamalah

Apakah alasan lupa cukup untuk menghapus dosa, atau justru masih menyisakan kewajiban dan tanggung jawab?
Ilustrasi orang sedang shalat dan dalam posisi lupa. Olah Digital oleh IKHBAR

Ikhbar.com: Lupa merupakan bagian dari tabiat manusia. Kondisi ini muncul tanpa tanda yang kerap singkat, kadang berlangsung lama. Dalam kehidupan beragama, kelalaian semacam ini sering memunculkan pertanyaan yang tidak sederhana. Apakah lupa cukup untuk menghapus dosa, atau justru masih menyisakan kewajiban dan tanggung jawab? Di ruang inilah syariat Islam bekerja dengan ketelitian, menjaga keseimbangan antara keringanan dan tuntutan hukum.

Dalam kerangka tersebut, Imam Al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salam merumuskan pandangan yang jernih tentang konsekuensi lupa, baik dalam urusan ubudiyah maupun muamalah, sebagaimana tertuang dalam Al-Qawā‘id al-Kubrā. Prinsip dasarnya jelas, lupa memang mengangkat dosa, tetapi tidak serta-merta menghapus kewajiban atau tanggung jawab yang masih mungkin ditunaikan.

Baca: Allah Memaafkan, Tapi Kadang tak Melupakan

Tidak berdosa, tetapi tetap berkonsekuensi

Kaidah awal yang diletakkan Imam Al-‘Izz bersifat mendasar. Lupa adalah kondisi yang lazim pada manusia dan karena itu tidak mengandung dosa. Namun, berhenti pada kesimpulan tersebut justru menimbulkan kekeliruan. Syariat tidak berhenti pada niat atau kondisi batin, melainkan bergerak menuju tujuan, yaitu terwujudnya kemaslahatan dan tercegahnya kerusakan.

Al-‘Izz menjelaskan:

النِّسْيَانُ غَالِبٌ عَلَى الإِنْسَانِ، فَلَا إِثْمَ عَلَى نَاسٍ، فَمَنْ نَسِيَ مَأْمُورًا بِهِ، لَمْ يَسْقُطْ بِنِسْيَانِهِ مَعَ إِمْكَانِ التَّدَارُكِ، لِأَنَّ غَرَضَ الشَّرْعِ تَحْصِيلُ مَصْلَحَتِهِ

“Lupa adalah sesuatu yang dominan pada manusia, sehingga tidak ada dosa bagi orang yang lupa. Barang siapa lupa melakukan sesuatu yang diperintahkan, kewajibannya tidak gugur karena lupa selama masih mungkin untuk diperbaiki, sebab tujuan syariat adalah mewujudkan kemaslahatan.”

Dalil ini menjadi fondasi penting. Lupa menghapus dosa, tetapi tidak serta-merta menggugurkan kewajiban selama kewajiban tersebut masih dapat dikejar dan dipulihkan. Syariat tidak berhenti pada alasan psikologis, tetapi terikat pada akibat dan tujuan hukum.

Baca: Doa Pembersih Dosa

Antara yang gugur dan yang tetap wajib

Dalam ranah ibadah, Imam Al-‘Izz membedakan secara jelas antara kewajiban yang tidak dapat ditadaruk dan kewajiban yang masih mungkin diperbaiki.

Ibadah yang terikat waktu dan momentum tertentu, seperti jihad khusus, salat Jumat, salat gerhana, atau salat jenazah dalam kondisi tertentu, apabila terlewat karena lupa, maka kewajibannya gugur. Gugurnya kewajiban bukan karena keringanan moral, tetapi karena secara faktual tidak mungkin diulang. Dalam konteks ini, kewajiban gugur karena realitas.

Sebaliknya, ibadah yang masih dapat ditadaruk, seperti salat wajib, puasa, zakat, nazar, dan kafarat (tebusan), tetap wajib ditunaikan ketika ingat. Apabila termasuk kewajiban yang harus segera, pelaksanaannya wajib disegerakan. Jika boleh ditunda, tetap dianjurkan untuk dipercepat karena hal tersebut bagian dari berlomba dalam kebaikan.

Logikanya sederhana. Selama maslahat masih dapat diraih, kewajiban tidak gugur. Lupa tidak menjadi jalan keluar dari tanggung jawab.

Lupa dalam pelanggaran larangan ibadah

Persoalan menjadi lebih tajam ketika lupa terjadi dalam pelanggaran larangan ibadah. Pada titik ini, Al-‘Izz membuat pembedaan penting, yaitu apakah pelanggaran tersebut bersifat itlaf (merusak) atau tidak.

Imam Al-‘Izz menyatakan:

فَإِنْ كَانَ مِنْهِيُّ الْعِبَادَةِ مِنْ قَبِيلِ الإِتْلَافِ… لَمْ تَسْقُطْ كَفَّارَتُهُ، لِأَنَّهَا وَجَبَتْ جَابِرَةً، وَالْجَوَابِرُ لَا تَسْقُطُ بِالنِّسْيَانِ

“Jika larangan ibadah itu berupa perusakan, seperti membunuh hewan buruan saat ihram, mencukur rambut, atau memotong kuku, maka kafaratnya tidak gugur, karena kafarat berfungsi sebagai penebus, dan penebus tidak gugur karena lupa.”

Poin ini bersifat krusial. Lupa menghapus dosa, tetapi tidak menghapus dampak objektif dari kerusakan. Kafarat bukan hukuman moral, melainkan mekanisme perbaikan. Oleh karena itu, kewajiban tersebut tetap berlaku.

Sebaliknya, apabila pelanggaran larangan tidak menimbulkan perusakan nyata, dosa gugur tanpa kewajiban pengganti. Dalam konteks ini, syariat menimbang akibat, bukan sekadar niat.

Kasus salat tanpa wudu karena lupa juga ditegaskan. Salat tersebut tidak sah, bukan karena dosa, melainkan karena syarat yang diperintahkan tidak terpenuhi. Tujuan perintah adalah terwujudnya maslahat yang nyata. Apabila tujuan tersebut belum tercapai, ibadah harus diulang.

Baca: Bangga Bermaksiat, Enggak Bahaya Tah?

Dosa gugur, tanggung jawab tetap berjalan

Dalam wilayah muamalah, kaidah yang digunakan bahkan lebih tegas. Ketika lupa berkaitan dengan hak orang lain, penghapusan dosa tidak pernah berarti penghapusan tanggung jawab.

Imam Al-‘Izz memberi contoh yang jelas. Seseorang menjual budaknya, menceraikan istrinya, atau menjual barang, lalu lupa dan bertindak seolah kepemilikan atau hubungan tersebut masih ada. Dalam seluruh kasus itu, pelaku tidak berdosa karena lupa, tetapi tetap wajib mengganti kerugian.

فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ… وَيَلْزَمُهُ ضَمَانُ مَا أَتْلَفَهُ… لِأَنَّ الضَّمَانَ مِنَ الْجَوَابِرِ، وَالْجَوَابِرُ لَا تَسْقُطُ بِالنِّسْيَانِ

“Tidak ada dosa baginya, tetapi tetap wajib mengganti kerusakan yang ditimbulkan, karena ganti rugi merupakan bentuk perbaikan, dan perbaikan tidak gugur karena lupa.”

Di sinilah garis tegas syariat terlihat. Hak manusia tidak tunduk pada kelalaian personal. Keadilan sosial tidak boleh dikalahkan oleh alasan lupa. Kelalaian tidak dapat dijadikan pembenaran atas kerugian pihak lain.

Baca: Tutorial Maaf-Memaafkan dalam Islam

Yang umum dan yang jarang

Sebagai penutup, Imam Al-‘Izz memberikan catatan penting. Sebagian besar lupa bersifat singkat dan umum terjadi. Karena itu, syariat memaafkan lupa yang sulit dihindari. Namun, lupa yang jarang, berlarut, dan tidak lazim dapat diperlakukan berbeda.

Syariat membedakan antara uzur yang dominan dan uzur yang langka. Uzur yang dominan dimaafkan karena sulit dihindari. Uzur yang langka tidak selalu dimaafkan karena tidak menimbulkan kesulitan berarti. Logika ini sejalan dengan pembedaan antara najis kecil yang sulit dihindari dan najis besar yang jarang terjadi.

Ulasan ini menegaskan satu hal. Islam tidak memanjakan manusia dengan dalih lupa, tetapi juga tidak menghukumnya secara membabi buta. Lupa menghapus dosa, tetapi tidak membatalkan tujuan hukum. Selama maslahat masih dapat dikejar, kewajiban tetap ada. Selama kerusakan terjadi, perbaikan tetap dituntut.

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.