Jangan Terpaku pada Suatu Kebajikan

Ilustrasi kebajikan. Foro: Unsplash/Jon Tyson

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA

(Mustasyar PBNU)

DALAM kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, sering kita temui orang-orang yang terpaku pada satu bentuk kebajikan dan mengabaikan kebajikan lainnya, meskipun lebih utama. Mereka terus membela kebajikan yang diyakininya, melaksanakannya dengan tekun, tetapi enggan memperhatikan kebajikan lain yang tidak kalah penting. Bahkan, mereka merasa cukup dengan amal yang sudah dilakukan, seolah-olah tidak perlu memikirkan atau berupaya melakukan kebaikan lain, sekalipun yang lebih utama.

Sikap seperti itu merupakan bentuk fanatisme sempit yang dapat menjerumuskan seseorang pada pemahaman agama yang terbatas. Ia tidak berusaha memperluas pandangan dan memasyarakatkan kebajikan yang lebih luas dalam kehidupan sehari-hari. Ada sebagian orang yang hanya mau bersedekah untuk kegiatan sesuai seleranya, misalnya membantu pembangunan tempat ibadah. Namun, ketika diajak menyumbang untuk pembangunan madrasah, sekolah, atau lembaga pendidikan yang lebih modern, mereka menolak.

Sebagian lainnya hanya bersedekah kepada anak yatim, padahal di sekitar mereka banyak anak-anak miskin dari kalangan dhuafa yang juga membutuhkan bantuan, tetapi diabaikan. Ada pula yang membantu para janda, meskipun janda itu tergolong mampu dan berkecukupan. Setiap Muslim seharusnya berusaha terus meningkatkan amal salehnya di berbagai bidang kehidupan. Ia tidak boleh mengabaikan hal-hal yang lebih penting daripada aktivitas keagamaan yang selama ini dilakukan.

Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai bimbingan mengenai hal tersebut. Misalnya, sebagian orang merasa bahwa memberikan minuman kepada jamaah haji atau memakmurkan masjid merupakan amal terbaik. Padahal, ada kebajikan yang lebih tinggi nilainya, seperti meningkatkan kualitas keimanan hingga mencapai derajat yang tinggi, berhijrah, serta berjihad di jalan Allah dalam berbagai aspek kehidupan. Berjihad dengan harta, pikiran, dan jiwa merupakan kebajikan yang tingkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan yang disebutkan sebelumnya.

Baca: Kelemahan sebagai Pemicu Kesuksesan

Meningkatkan kualitas keimanan adalah aktivitas yang harus dilakukan secara berkesinambungan oleh setiap Muslim. Iman merupakan pondasi ajaran agama. Jika seseorang memiliki keimanan yang kuat, maka perilakunya akan senantiasa baik dan menjauhi perbuatan tercela. Dalam konteks kehidupan modern, berhijrah berarti berusaha sungguh-sungguh meninggalkan berbagai perbuatan buruk, seperti kecenderungan terhadap kemewahan duniawi, cinta berlebihan terhadap pangkat dan jabatan, memperturutkan hawa nafsu, serta keburukan lainnya.

Memperturutkan hawa nafsu dapat dibagi menjadi tiga bentuk. Pertama, dorongan nafsu untuk menikmati dan mengonsumsi makanan secara berlebihan. Sikap ini dapat menjerumuskan seseorang dalam berbagai penyakit yang membahayakan. Kedua, nafsu yang berkaitan dengan libido seksual. Mereka yang tidak mampu mengendalikan dorongan seksualnya akan mudah terjerumus dalam perbuatan tercela yang memalukan. Perbuatan seperti itu dapat menimbulkan bencana besar, bahkan sampai pada tindakan keji yang tidak masuk akal, sehingga mencampakkan pelakunya ke dalam kehinaan dan penyesalan sepanjang hayat.

Ketiga, nafsu yang berkaitan dengan kemarahan berlebihan atau ghadab. Hawa nafsu ini sangat berbahaya karena dapat menyeret seseorang dalam waktu singkat—hanya dalam hitungan menit atau bahkan detik—ke dalam tindakan tercela yang berujung pada kehinaan lahir maupun batin.

Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qur’an mengingatkan umat manusia agar mampu menilai kebajikan sesuai tingkatannya. Setiap Muslim harus berbuat kebajikan dengan dimulai dari tingkatan yang paling tinggi, agar mampu melakukan berbagai bentuk kebajikan secara seimbang: memilih yang terbaik, kemudian yang baik, dan selanjutnya kebaikan secara umum.

أَجَعَلۡتُمۡ سِقَايَةَ ٱلۡحَآجِّ وَعِمَارَةَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ كَمَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَجَٰهَدَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ لَا يَسۡتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. At-Taubah [9]: 19).

Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk menyumbangkan buah pikirannya melalui kanal ‘Risalah.’ Kirimkan tulisan terbaik Anda melalui email redaksi@ikhbar.com

Ikuti dan baca artikel kami lainnya di Google News.